Kontemplasi
dalam Senja*
…Kemudian
tiba-tiba senja dan cahaya gemetar. Keindahan berkutat melawan waktu dan aku
tiba-tiba teringat padamu, “barangkali senja ini bagus untukmu,” pikirku. Maka
ku potong itu sebelum terlambat, kukerat pada empat sisi lantas kumasukkan ke
dalam saku. Dengan begitu keindahan itu bisa abadi dan aku bisa memberikannya
padamu…” (Seno Gumira Ajidarma: Sepotong Senja Untuk Pacarku).
Senja?
Mengapa dengan senja?
Senja. Merupakan waktu setengah gelap, sesudah
matahari terbenam. Ataukah senja adalah masa setelah terbenamnya matahari.
Waktu senja tak lain sinonim dari kata sore dan petang. Tentunya memiliki makna
yang tidak jauh berbeda. Keadaan alam, ketika sinar siang akan berganti dengan
pekatnya malam.
Kembali pada pertanyaan kedua, mengapa dengan senja?
Tahukah engkau, mengapa senja begitu dinanti oleh
orang-orang (sebagian besar muda-mudi) yang berada di pantai?
Buat
Sri Ajati
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut…
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut…
(Chairil
Anwar, Senja di Pelabuhan Kecil: 1946)
Ataukah waktu yang dinanti para pekerja, untuk
kembali pulang beristirahat ke rumah masing-masing?
Bahkan mungkin adalah waktu yang ditunggu-tunggu
untuk berbuka saat shaum di siang
hari?
Ya. Ada alasan mengapa senja cukup dinantikan setiap
manusia, di hampir semua aktifitasnya tiap hari.
Namun, ketika senja selalu hadir di hari-hari kita,
masihkan kita sejenak menikmati suasana-suasananya?
Masihkah kita sedikit merenungi semua yang telah
kita lakukan dan kerjakan mulai fajar menyingsing, hingga matahari tenggelam?
“Dan
Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu
ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (nya).” (QS. An- Nahl: 12)
Masihkah?
Ini mungkin tidak akan berlaku bagi sebagian orang-orang
yang waktunya cukup sering habis diperjalanan, entah karena macet-sebagai
risiko tinggal di kota besar- ketika dalam perjalanan pulang di sore hari.
Bahkan ini pula yang sering saya alami, sejak jarak antara rumah dan kampus,
sektirar satu setengah jam waktu tempuh dengan menggunakan kendaraan umum pete-pete.
Tetapi dari setiap perjalanan-perjalanan itu, ada
sebuah proses yang selalu saja ‘memaksa’ saya untuk ikut merasakan perenungan
dari setiap aktifitas saya di kampus (yang terkadang membuat stress dan
kelelahan).
Ini sering terjadi ketika saya berada di pete-pete dan terjebak
macet berkepanjangan, yang membuat penat.
Kontemplasi. Ya, kontemplasi. Proses perenungan dan
berpikir dengan perhatian penuh.
Dari situlah, berbagai hal (permasalahan saya yang
mungkin cukup sukar untuk terpecahkan) mendapat pencerahan dari proses-proses
itu. Proses kontemplasi saat hari sedang senja. Mungkin waktu seperti itulah
otak mampu berpikir jernih (hanya pada sebagian orang, termasuk saya). Karena
hal itulah yang membuat saya masih saja menantikan senja hingga hari ini.
Terlepas dari ini, ada pula berbagai alasan yang
membuat kontemplasi perlu untuk dilakukan oleh tiap-tiap manusia. Sebagai
bentuk kehambaannya pada Sang Pencipta. Meski harus dibatasi waktu dari
sebagian kesibukan di tiap harinya.
Atas dasar apa?
Tak lain, agar manusia tetap bersabar dan bersyukur
atas kehidupan dan nikmat-Nya. Serta menghilangkan kesombongan-kesombongan yang
ada dalam dirinya. Dikarenakan manusia adalah makhluk sempurna di muka bumi.
“Maka sabarlah kamu atas apa yang mereka
katakan, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum terbit matahari dan
sebelum terbenamnya dan bertasbih pulalah pada waktu-waktu di malam hari dan
pada waktu-waktu di siang hari, supaya kamu merasa senang.”
(QS. Thaahaa:130)
“Dan Dia telah
menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam
orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang.”
(QS. Ibrahim: 33)
“Tidakkah kamu
memperhatikan, bahwa sesungguhnya Allah memasukkan malam ke dalam siang dan
memasukkan siang ke dalam malam dan Dia tundukkan matahari dan bulan masing-masing
berjalan sampai kepada waktu yang ditentukan, dan sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Luqman: 29)
Nah,
untukmu pecinta senja.
Sepertinya
kontemplasi cukup berkawan dengan senja.
Bagaimana denganmu?
*Judul masih terinspirasi dari puisi sang
penulis: Kontemplasi Senja
(Sumber: Dikutip dari Wikipedia dan
lainnya)
Saat
menanti ujung shaum, waktu senja (di beranda rumah)
Pinrang,
22 Juli 2012 (3 Ramadhan 1433 H)
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusaku ralat komentku: Mungkin SEBAGIAN umat muslim akan men'judge' dirinya sebagai penikmat senja. cukup di bulan ini saja. dan setelah ini? Apakah ia??
HapusSemoga saja jawabannya 'ia'.
terkesima dengan petikan ini
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut…
(Chairil Anwar, Senja di Pelabuhan Kecil: 1946)
^_^
ya,ya...
BalasHapusmungkin saja bisa seperti itu.
tapi itu relatif, kan?
:D
itu kembali pada individu masing-masing lagi.
:)