Oleh: Dewitiani AR
Berakhirlah sudah semua kisah ini dan jangan kau tangisi lagi….
Sebab rasaku tlah mati untuk menyadarinya…*
Terhentak dari lamunan. Suara lelaki muda yang berpadu dengan petikan gitar, memaksa helaian angin membawa nadanya dipendengaran Syam. Hanya bergeming. Beberapa orang yang lain, hanya duduk termangu mendengar sepotong lagu pop itu. Tak ada respon. Bahkan beberapa di antaranya mengalihkan pandangan. Tak acuh.
Syam, mencoba menikmati alunan itu. Beberapa detik. Kemudian tersenyum setelah meresapi. Lalu merogoh uang pecahan dua ribu rupiah dari dalam saku tasnya. Diberikannya pada pengamen itu, sembari membalas senyuman.
“ Terima kasih banyak, Mbak.”
Hanya bisa mengangguk. Disertai sudut matanya yang ikut tersenyum. Pete-pete yang ditumpanginya kemudian kembali melaju dengan kencangnya.
Kota Makassar. Siang itu terhias dengan cahaya garangnya yang gerah. Seakan menggigit kulit, mengajak peluh membasahi tubuh. Awan sembari menyimpan kilatan matahari yang membuat langit semakin biru laut. Hiruk kota menggema. Menghiasi kesibukan manusia yang menantang kerasnya karang kehidupan.
Letih tergurat dari wajahnya. Namun, ada sepotong kebahagiaan dari rautnya. Mungkin karena sesuatu yang berhasil dicapainya. Sebuah hadiah kecil yang diberikan mentor tarinya, karena ketekunannya latihan menari. Senang berhiaskan keceriaan.
Seakan tak sabar ia mengabarkan hal itu pada ibunya di rumah. Membayangkan senyum dan tawa bangga ibunya.
***
Subuh menghiasi kaki langit dengan magenta. Siluetnya turut menyapa tetesan bening yang dipangku perdu. Namun, ada gumpalan gelap awan yang bersembunyi di antara bias pagi yang akan terbit. Tak nampak cerah. Muram.
Tok….tok….tok….
Ketukan pintu di salah satu kamar, membahana dari keheningan rumah sederhana nan asri itu. Pintunya terbuka diiringi suara berderit. Pandangan Syam masih kabur. Sembari mengucek-ngucek matanya, mulutnya terus menguap lebar. Melepas rasa kantuknya yang masih menggoda.
“ Subuh, sayang. Ayo segera bangun, terus shalat ! Nanti kamu telat ke sekolahnya loh!” sesosok wanita lembut, membangunkannya dari peraduannya yang cukup nyenyak.
Disertai anggukan, senyum turut terbit dari keduanya. Syam mendengar ucapan ibunya. Tapi hanya bisa menjawabnya dengan senyuman dan isyarat tangan. Ia tak tuli. Namun tak mampu menjawab semuanya dengan ucapan dari kedua bibir dan suaranya.
Ada sesuatu yang istimewa bagi dirinya, kala menyambut subuh disetiap hari. Impian. Tapi bukan mimpi. Sesuatu yang selalu dipanjatkan tiap-tiap serpihan doanya. Ia yakin di saat subuh, saat pergantian peran para malaikat-malaikat Ilahnya itulah, tiap-tiap doa khusyuk yang terpatri dalam jiwa kelak akan di-ijabah.
Ia hanya ingin kemampuan verbalnya, terdengar dari kedua bibirnya dengan sempurna. Hanya itu. Tidak lebih. Karena ia ingin di setiap hari, tak ada lagi yang menatapnya dengan aneh ketika mengetahui kekurangannya. Tak ada lagi yang menatap risih, atau pun menatap dengan penuh rasa kasihan jika mengetahui bahwa ia seorang tunawicara. Ya. Ia hanya ingin hidup normal seperti manusia yang lainnya.
***
Pagi itu, suasana jalanan masih lengang. Dingin merambat, angin menghembuskan dedaunan gugur dengan indah gemulai. Masih seperti tadi. Awan abu-abu belum jua mengizinkan bias cahaya si surya yang akan nampak.
Setelah berpamitan dengan ibunya, dan juga ayahnya yang masih setengah terlelap, ia mulai beranjak meninggalkan rumah sederhana itu. Terlihat agak tergese-gesa. Mungkin karena semangatnya yang tak henti redup.
Melewati blok-blok di kompleks rumahnya, ia bertemu dengan beberapa pengguna sepotong jalanan yang setiap pagi menawarkan beberapa macam makanan. Jajanan pasar, kue-kue, ataupun beberapa macam nasi. Tapi semua ditolaknya dengan gelengan kepala dan lambaian tangan. Menolak, karena ia sudah sarapan sebelum keluar rumah, ditambah bekal untuk makan siang yang disediakan ibunya di dalam tasnya.
Baru berjalan melewati tiga blok dari rumahnya, tiba-tiba angin bertiup menabrak semua yang dilaluinya. Menghempaskan dedaunan yang tadi masih tergeletak lemas. Tangkai-tangkai pohon di sisi jalan, beberapa di antaranya luruh terkena tamparan angin. Awan gelap yang berarak, perlahan menghiasi langit. Gemuruh guntur seketika menggelegar.
Tiba-tiba ia teringat, lupa membawa sesuatu. Payung! Tanpa berpikir panjang, dengan setengah berlari, langkah kakinya berbalik arah menuju ke rumah. Diterobosnya hempasan angin kencang yang seakan menerbangkan tubuh kurusnya. Kemudian ia berlari. Terus berlari. Hingga titik-titik rinai perlahan membasahi tubuhnya.
Lima menit waktu yang cukup membawanya kembali ke rumah, ketika hujan mulai membasahi tanah dengan arakannya yang berlomba lebat. Masih dengan tergesa-gesa, diketuknya pintu rumah sederhana itu. Berharap ada yang membukakannya dan memberinya sebuah benda yang dibutuhkannya.
Prang…! Prang..! dhuk..! dhuk..!
“ Aaahh….!”
Sayup-sayup terdengar teriakan dari dalam, disertai geraman kekesalan yang diikuti suara pecah.
Mendengar hal itu, tiba-tiba matanya terbelalak. Beberapa firasat buruknya muncul tersentak.
Secepatnya, ia langsung mengintip dari jendela yang posisinya berada di sebelah kanan pintu. Kemudian ia tak menyangka sama sekali, firasat buruknya benar-benar terjadi. Di matanya, terlihat jelas sebuah peristiwa yang langsung menohok hatinya.
Seorang wanita terlihat merintih kesakitan disertai tangis. Tubuhnya dipukuli dengan membabi buta. Rambutnya dicengkeram, tertarik. Sumpah serapah juga didapatinya.
Tak kuat menyaksikan peristiwa itu, dengan emosi dan kemarahan yang cukup dalam, ia kembali mengetuk-ngetuk pintu rumahnya. Tapi dengan ketukan yang lebih keras. Seakan memaksa untuk dibukakan.
Mendengar ketukan yang panjang, lelaki bertubuh besar dan berkulit legam itu, seketika terperanjat. Ia menoleh dan menghempaskan tubuh wanita yang telah dianiayanya. Kemudian membuka pintu dengan serampangan.
Didapatinya sesosok gadis kecil dihadapannya yang sudah bercucuran air mata. Darah dagingnya, Syam.
Tanpa berpikir panjang dan tidak menghiraukan yang ada dihadapannya, Syam langsung menyeruak menghampiri sesosok wanita yang telah lemah terduduk di sudut ruangan. Tangisnya semakin pecah, ketika melihat cairan merah mengaliri sudut bibir ibunya yang terluka lebam membiru.
Ia menangis sejadi-jadinya, dan memeluk tubuh ibunya dengan rasa duka mendalam. Dalam keadaan seperti itu, ibunya yang lembut berusaha menenangkannya.
“ Syam, jangan nangis nak. Ibu tidak apa-apa kok. Kamu pulang, mau ambil payung ya? Tunggu, ibu ambilkan.”
Bergegas, dengan langkah yang tertatih-tatih sambil menahan sakit, ibunya berjalan menuju ruang tengah. Tempat payungnya tersimpan.
Setelah mendapat benda yang dicari, tanpa disangka-sangka, sosok laki-laki bertubuh besar dan berkulit lebam itu langsung merampas payung yang dipegang ibunya.
“ Hei..! untuk apa kamu masih memperhatikan anak cacat ini?! Hahh! Anak tak ada gunanya! Menambah beban hidup saja!” kemarahannya semakin tersulut.
Mendengar putrinya dikatakan seperti itu, emosi ibunya pun memuncak.
“ Daeng, jangan katakan hal itu pada anakmu sendiri! Kenapa Daeng tega mengatakan hal itu di depannya?! Bagaimanapun juga, dia darah dagingmu sendiri, Daeng! Tolong, jangan jadikan ia pelampiasan karena ia anak kita.”
“ Alaah..! beraninya kamu menantangku, Hahh!”
Tanpa diduga, lelaki itu mengancang memukul istrinya dengan payung yang dipegangnya tadi. Tapi istrinya berhasil menghindar. Tak puas karena perhitungannya melesat, lelaki itu kembali mencoba memukuli istrinya.
Mendadak, Syam berusaha menghalangi ayahnya. Namun, ia mendapat imbas dari niat baiknya. Dengan beringas, ayahnya memukuli tubuh kurusnya yang lemah dengan payung itu. Payung warna-warni kesayangannya yang dibelikan ibunya setahun yang lalu.
Ia tak tampu melawan. Ibunya pun mencoba menghalangi ayahnya yang terlanjur berang sejak tadi. Tubuhnya perlahan melemah. Ingin ia teriakkan kesakitannya, namun rintihannya tak mampu terucap. Hanya terdiam dengan lelehan cairan bening dipipinya. Tubuhnya ambruk.
Lamat-lamat, terdengar namanya disebut.
“ Syam..Syam.. bangun, bangun Nak!” tubuhnya diguncang-guncang.
Terlihat wajah ibunya yang berusaha membangunkannya untuk kuat. Lalu pandangannya Syam mulai goyah.
“ I.. ibu….”
“Nak, Nak, bangun Nak!” dalam tangisnya sekilas ada senyum ketika mendengar dirinya disebut. Walau hanya terdengar samar-samar.
Rasa sakit perlahan menjalar ke sekujur tubuh Syam. Gelap.
***
“ Syam…! Ayo kita pulang nak!” suaranya masih teringat jelas. Senyumnya masih melekat erat diingatanku.
Aku menggeleng keras, menolak ajakannya untuk pulang ke rumah.
“ Ayolah Nak, nanti kamu sakit kalo terlalu lama main hujan-hujanan. Ibu menunggu di rumah. Jangan sampai Ibu marah ya..!” dengan tersenyum, tubuh mungilku digendongnya. Aku sedikit meronta dan tersenyum lepas. Masih terlihat jelas rintik-rintik hujan menerpa payung warna-warni yang dipegangnya. Kupeluk erat lehernya. Perlahan terlihat menjauh, taman tempatku bermain.
Perlahan pita seluloid kisahku berhenti berputar dari sebagian tidur panjangku. Cahaya putih menyilaukan sontak membangunkanku. Putih.
“ Alhamdulillah, akhirnya kamu sadar, Nak.” kulihat senyum ibu yang seketika menenangkanku.
Aku hanya tersenyum, melihatnya yang juga tersenyum bahagia.
Di kamar yang seluruhnya berwarna putih dan terdapat beberapa alat medis, tubuhku tergolek lemah. Kudengar cerita ibu, sejak dua hari yang lalu aku dirawat di sini. Karena perilaku biadab ayahku.
Esoknya, kulihat televisi yang menayangkan berita tentang pelaku KDRT yang melibatkan anak dan istrinya. Ia diduga stres karena baru sebulan di-PHK. Tersangka dijebloskan ke bui karena memukuli istri dan anaknya yang tunawicara dengan menggunakan payung, hingga mengalami kritis.
VAA Makassar, Januari 2012
***
*Lagu - Tapi Bukan Aku (Kerispatih)
Keterangan:
Daeng: sebutan kakak/abang dalam bahasa Makassar
Pete-pete: sebutan transportasi masyarakat (angkot) dalam bahasa Makassar /Bugis.