Selasa, 21 Juni 2011

Hari ini....
Cukup terkejut membaca pesannya di salah satu jejaring sosial itu..
Bercerita tentang keluh kesahnya, kekesalan, kekecewaan, dan semua-semuanya..!
Tentang hubungannya dengan seseorang..
Berakhir dengan keterpurukan!
Perempuan itu lebih memilih yang lain, bukan dirinya..
Yang sungguh sangat berharap bahwa dia akan menjadi miliknya!
Wah, cukup heran jika saya cukup terlibat dalam cerita sedihnya.....
Maaf, hanya sedikit nasihat yang bisa saya berikan, yang bertujuan menghibur hatimu....
Tapi, cukup kecewa dengan tindakannya..
Masa 'penjajakan' yang cukup lama, namun berakhir dengan penolakan...
Walau semua diterimanya dengan keikhlasan 'bersyarat'..
Hmm....
Mungkin dirinya terlalu berharap pada keadaan dan perasaannya selama ini....
Ya, hukum itu pun berlaku pada dirinya..
'Cinta tak harus memiliki'
Wah,wah....


Minggu, 19 Juni 2011

KRIM: Ketika Rasa Itu Menyapa (cerpen)


Terpaan hangat surya membelai lembut wajahku. Agak kupicingkan mata. Silau.
Ah! Dia telah datang kembali. Menemani sang bumi yang telah menua. Memberikan kehidupan difajar ini. Selalu seperti ini, yang kurasakan sejak merasakan kehidupan.
Pagi! Kembali menyambutku setelah merenungi segalanya sejak subuh tadi. Ku raih jam weker di atas meja. Mengamati angka-angka dan jarum jam. Tepat pukul 06.35.
Si surya belumlah terlalu tinggi, tapi cahayanya cukup menyilaukan mataku yang sudah abnormal.
“ Nay, kamu sudah bangun nak?” sapaan lembut ibunda sudah terdengar.
“ Iya bu, tadi Nay ketiduran habis tilawah. Ibu belum berangkat? ” aku keheranan melihat ibu yang masih ada di dapur jam segini.
“ Iya nak, tadi masih ada kerjaan di sekolahan yang harus ibu selesaikan. Masih lanjutan kerjaan ibu yang tadi malam. Semalam ibu ketiduran karena kecapekan.”
“ Oh, jadi ibu berangkat pukul berapa?” sambil berjalan ke meja makan, ku buka inbox handphoneku.

“ Nay, tolong datang ke kampus pukul 10. Ada hal penting yang harus kita bicarakan.”
_Puput

Puput? Ada apa ya? Tumben-tumbennya dia kirim SMS sepagi ini. Sepenting apakah, hal yang  harus ia bicarkan? Kenapa tidak dibicarakan lewat telepon saja? Biasanya dia langsung telepon saja.
“ Hmm..” langkahku terhenti sejenak. Mendesah.
“ Nay.. Nay ? Hei…. Kamu kenapa? Masih pagi sudah melamun. Kamu berangkat ke kampus pukul berapa?”
“ Eh, oh, iya bu.. hari ini kuliahku mulai pukul satu siang. Tapi tadi ada SMS dari Puput ,  ada hal penting yang harus dia bicarain. Katanya, pukul 10 aku sudah harus dikampus.”
“ Oh.. ya sudah, ibu siap – siap mau berangkat ngajar dulu. Kamu kalau mau berangkat, jangan lupa sarapan ya! Ini, ibu sudah siapkan.”
“ Iya bu..”

***


Kampus Ungu……

“ Puput, sekarang aku udah di kampus. Aku tunggu di bawah pohon yahh, depan gedung Dh.”
_Nay

“ Assalamu’alaikum..!” salam itu, ternyata Puput.
“ Wa’alaikum salam.. kamu darimana saja sih? Hampir setengah jam aku nunggu kamu disini. Memangnya ada hal penting apa yang harus kamu bicarain? Tumben-tumbennya kamu gak langsung…” ocehanku tiba-tiba terhenti. Mulutku tersekap.
“ Aduh, neng Naya.. kalo ngomong pake jeda dong..! Bisakah engkau berbicara padaku dengan perlahan?  Rasanya telinga ini mau pecah mendengar suaramu yang sangat melengking itu..!”
“ Hff..hff… lhe-phash-kan -tha-nghan-mhu..!” masih dengan susah payah ku memohon.
Stop ! Shit up..!” perlahan dekapan telapak tangannya melonggar di mulutku.
“ Oke, oke,.. hff..hff.. huh, dasar kamu ya..!” nafasku masih memacu, mengatur nafas.
“ Hmm.. sekarang kita ke kantin yuk ! disini gak enak ngobrolnya, nanti didengar orang lewat.”  kami menyingkir.

***

Seketika ku terkesiap. Tergugu.  Membatu. Seakan sangat tidak percaya dengan apa yang disaksikan kedua mata ini. Astaghfirullah!!
“ Nay ? Nay ? ...” puput mencoba memastikan mataku masih bisa berkedip.
“ Huh.. kamu itu ya Put, apa maksud kamu ngasih liat aku foto kayak ginian ?” hanya  mendelik melihat mukanya yang seperti ‘menunggu’ sesuatu.
“ Hahhh ?  Nay ? hellooo….?! apa aku tidak salah dengar ? hey.. kamu tahu kan, wajah-wajah ini ?” dengan sedikit emosional, tidak percaya dengan perkataanku.
Tubuhku sedikit bergidik. Jantungku memacu. Emosiku hampir pecah.  
Mataku semakin tidak kuat melihat foto-foto itu. Seorang perempuan dan lelaki –yang wajahnya sangat tidak asing dan sangat kukenal – saling bertatap tanpa ada pembatas di antara keduanya. Ditambah dengan foto – si perempuan –  berpakaian mini, nyaris ‘memamerkan’ seluruh kemolekan tubuhnya yang cukup seksi, dan tentunya ditemani dengan pasangannya.
“ Apakah kamu mau membiarkan hal ini terjadi lebih jauh?  Kamu mau dia yang dulunya sahabatmu, sekarang sikapnya menjadi tidak keruan seperti ini  ? Sedangkan kamu sendiri bisa mencegah hal itu terjadi ?” tidak disangka, dia kembali mencecarku.
Saat itu juga, aku tidak bisa berkelit. Semua foto yang ditunjukkan puput – melalui jejaring sosial – membuatku sangat shock. Lidahku kelu.
“ Nay, aku tahu bagaimana keadaan dan posisi kamu saat itu. Aku juga tahu bagaimana perasaan kamu saat itu. Saat masih menganggapnya sebagai seorang sahabat, atau bahkan lebih bagi kamu. Tapi toh, selama ini kamu hanya mau melihatnya dari luar saja, bukan dari dalam. Dan firasatku selama ini benar ! dia tidak baik untukmu. ”
“ Tapi put, apa hubungannya denganku ?  dia denganku tidak ada apa-apa lagi ! bahkan semua tentang dia, sudah kulupakan hingga saat ini..!” emosiku tertahan. Tercekat.
“ Nay.. iya, aku tahu sekarang ini kamu sudah berusaha melupakan dia. Tapi dari air mukamu yang tadi tampak, yang menggambarkan perasaanmu saat ini. ”
Aku masih terdiam.
“ Nay.. sebagai saudara seiman, masih adakah secuil rasa iba dengan saudaramu satu ini, yang belum mendapatkan hidayah-Nya ? masih adakah niat dakwah yang ada dalam hatimu untuk tetap berkobar menyampaikannya, walaupun orang itu adalah masa lalumu yang cukup kelam? dan kenapa tali persaudaraan itu harus terputus dengan adanya kenyataan? ”
Pertanyaan-pertanyaanya itu, sentak membuatku terenyuh. Bolamataku memanas. Kupalingkan wajah, setetes air mata  jatuh.
“ Nay..nay..? kamu nggak apa-apa kan?”
Menoleh.
“ Tau’ah..! Jijik saya liatnya !!”
Bergegas kutinggalkan Puput yang masih menunggu reaksiku selanjutnya.
“ Nay..! Nay..! …”
Samar-samar kudengar panggilannya. Tapi tak kuhiraukan. Pergi.
Hembusan udara siang cukup ‘meniup’ perasaanku yang campur aduk tidak keruan.

***

Rinai menemani sore ini. Beberapa saat, hujan dengan derasnya berderai. Sejuk. Namun masih kurasakan sedikit kekesalan dihatiku, efek siang tadi. Sepi, sendiri. Di balik jendela ku tercenung. Meresapi, menikmati euforia ini. Hujan. Masih selalu membuatku bahagia menyambutnya. Tiba-tiba teringat sekuel memoar masa kecilku.
“ Naya…! Ayo kita pulang nak!” seruan Ayah.
Suaranya masih ku ingat jelas. Senyumnya masih melekat erat diingatanku.
“ Iya Ayah, tapi Nay masih mau main dulu. Hujannya kan belum berhenti. Naya baru mau pulang kalo udah reda.” Suara cempreng dan sikap keras kepalaku, tidak membuatnya kesal.
“ Ayolah nak, nanti kamu sakit  kalo terlalu lama main hujan-hujanan. Ibu menunggu di rumah. Jangan sampai Ibu marah ya..!” dengan tersenyum, tubuh mungilku digendongnya. Aku sedikit meronta kegirangan dan tertawa lepas. Masih kulihat jelas  rintik-rintik hujan menerpa payung warna-warni yang dipegangnya. Ku peluk erat lehernya. Perlahan terlihat menjauh, taman tempatku bermain.
Mendesau. Perlahan ku pejamkan mata. Masih menikmati berisik rintik hujan ini. Mulai reda. Entah apa yang selalu kurasakan saat hujan kunjung reda. Selalu merasa kehilangan jika sudah pergi.
Kerinduan. Mungkin itu yang selalu menghiasi setiap hujan yang selalu kunikmati, sejak beberapa tahun yang lalu. Sejak sosok lelaki yang sangat bertanggung jawab dan pendiam itu, pergi meninggalkanku dengan senyumannya setahun lalu. Pergi dari semua hiruk-pikuk dunia ini. Saat kutumpahkan segala kekesalanku pada cerita-cerita yang telah kulalui. 
Ayah. Semua dan semuanya tentangmu, masih kuingat sampai saat ini.
Tersenyum. Karena hanya itu yang bisa kulakukan.
Petang menyambut. Sayup - sayup kumandang adzan maghrib mulai terdengar. Sejenak aku tersadar, kembali pada dunia nyata. Ingatan-ingatan itu masih berkelabat. Tapi rasa bersalah ini masih tetap ada, dan selalu hadir disetiap euforia hujanku. Kenapa?
Masih kupeluk lututku, sembari bersandar di sofa. Setetes airmata jatuh, sesaat masih meresapi panggilan Ilah.

***
Malam kian merangkak. Masih terdengar suara tetes-tetes bekas hujan sore tadi. Jangkrik masih berisik dengan malamnya. Irama detik jam menambah kentalnya kesunyian malam ini.
Dokumen-dokumen lama masih asyik kurombak sejak tadi. Mencari dan terus mencari. Namun belum kudapatkan juga.
Apa yang ada dipikiranku sejak tadi? Apakah masih memikirkan semua hal siang tadi? Hahh..!
Penat menyerang. Sejenak ku rebahkan tubuhku di kursi meja belajar. Serta-merta kulepaskan kacamata, minus dua, yang sejak tadi bertengger di hidungku. Sembari memijit dahi dan kedua pelipis.
Philophobia. Ah! nama itu.
Benarkah aku termasuk orang yang mengalami hal itu? Ataukah hanya sekedar nama ejekan dari Puput? Entah.
Philophobia. Masih menjadi momok bagiku hingga saat ini. Kadang ku tak mengerti jalan pikiran Puput, yang memberikanku nama ejekan demikian.
Penatku sudah mulai berkurang. Tapi nama itu yang masih membuatku terheran sampai saat ini! Philophobia.
Dalam catatan-catatan kecilku sewaktu SMA ,tentang berbagai nama ilmiah, memang tertulis nama itu. Tapi ingatanku tentang nama itu pun masih samar-samar.
Hmm..
Tiba-tiba dering handphoneku mengagetkan disetengah lamunanku.
SMS Puput?

“ Nilai dari kata maaf sungguh luas. Ia turun bagai tetes hujan dari surga. Di bumi tempat jatuhnya, ia membawa berkah ganda. Berkah bagi yang meminta maaf dan berkah bagi yang memberikan maaf. (William Shakespeare)”
_Puput J

     Oh! Ada saja hal-hal tidak terduga yang bisa dilakukan Puput. Yang mampu membuatku tersenyum dan terhibur, walaupun cukup sederhana. Seketika perasaan kesalku melumer dan mulai mencair. Kini tergantikan dengan senyum rekah, sembari membalas pesannya:

“ Terima kasih untuk pesan singkatnya malam ini, saudariku. Karena makna dari kata maaf  itu sangatlah indah, maka tak ada kata pun untuk tidak menerima dan membalasnya dengan sebuah senyuman indah. Hmm.. apakah boleh saya bertanya padamu,  tentang sesuatu di esok hari, saudariku?”

“ Bolehlah, besok siang kita ketemu di kampus ya..!J

“ Oke. Saudariku! Sekarang malam sudah mulai larut. Selamat beristirahat! J

***

Angin yang bertiup disiang ini, terasa lembab. Mendung masih menghias langit. Hingga menit ini ku terduduk di bangku bawah pohon , depan koridor kelas , bersama Puput yang sedari tadi masih menikmati cemilannya yang cukup banyak.
“ Put..” kumulai pembicaraan.
“ Ya..? Kenapa Nay ?” langsung menatapku.
“ Ngg..”
“ Oh iya..!  Semalam kamu mau  nanya sesuatu kan? Mau tanya apa sih?” seketika mulutnya berhenti mengunyah. Keningnya kelihatan berkerut.
“ Hmm.. itu.. tentang Philophobia.” kuberitahukan setengah berbisik. Sambil menatapnya dengan sedikit berharap.
Matanya menyipit. Terkesan menatapku tajam. Ia terdiam sejenak. Ditatap seperti ini, aku pun jadi salah tingkah.
“ Hey, Put! Biarpun saya cuek dengan nama ejekanku selama ini, tapi rasa penasaranku cukup besar, Put. Sebenarnya, apa maksud kamu mengataiku seperti itu ? …” belum selesai pertanyaan-pertanyaan lain kulontarkan, dengan cepat dikeluarkannya selembar kertas catatan dan pulpen dari tasnya. Cemilannya yang masih tersisa, langsung dipindahkan ke pangkuanku. Beberapa detik, ia menulis sesuatu dikertasnya. Masih kuamati gerak-geriknya, masih menunggu apa yang ia lakukan selanjutnya.
“ Nih, kamu baca!” disodorkan padaku, kertas yang sudah ditulisinya tadi.   
Kertasnya kuambil, lalu mengamati deretan huruf tulisannya. Keningku langsung berkerut. Berulang-ulang kubaca kata yang tertulis dikertas yang sedang ku pegang. Letak kacamataku pun kuperbaiki. Sambil menoleh, menatap Puput dengan keheranan. Dia masih asyik menikmati cemilannya.
“ Hahh? Ini maksudnya apa Put?”
Sebuah kata Philophobia yang tertulis, ditambah dengan simbol ≠ dan ‘Cinta’ . Jadi, dibalik kacamataku jelas terlihat : Philophobia ≠ Cinta. Ya! Cukup singkat. Tapi membuatku banyak bertanya-tanya. Kembali ku tatap Puput. Dia menoleh padaku dan tersenyum penuh arti.
“ Kamu bingung dengan maksudnya?” kembali tersenyum.
“ Hmm.. ya jelaslah!” nada bicaraku sedikit meninggi.
“ Oke! Nanti malam kamu datang ke rumahku ya! Nanti kujelaskan semuanya. Aku pulang duluan, banyak urusan. Assalamu’alaikum!”
Belum sempat kudapatkan penjelasan, Puput pun berlalu dengan seenak jidatnya. Yang kulakukan hanya bisa menjawab salamnya, dan belum mengiyakan tawarannya , sambil terus menatapnya yang berlalu pergi agak terburu-buru. Aneh. Sekarang semakin ku dapatkan ketidakjelasan ini.
***

“ Nay, coba kamu baca artikel ini.” disodorkannya beberapa kertas yang berisi tulisan-tulisan. Kuamati setiap deretan huruf yang ku baca saat ini:
Philophobia.. Istilah ini cocok buat orang yang takut jatuh cinta…
…Philophobia termasuk dalam penyakit mental, orang-orang yang mempunyai penyakit ini biasanya pernah mengetahui dan mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan dalam hal percintaan, mereka takut jatuh cinta, karena anggapan mereka tentang jatuh cinta itu adalah hal yang tidak menyenangkan, mungkin juga mereka menganggap itu merugikan…
Seketika ku terbelalak, kedua alisku terangkat. Sangat tidak percaya dengan apa yang telah kubaca.
Philophobia? Separah itukah Puput memberikan julukan seperti ini? Apakah aku memang ‘mengalami’ hal itu? ‘Takut jatuh cinta’ ? Benarkah?
“ Hahahh.. bagaimana? kamu masih penasaran?” dengan garingya, dia menertawakanku. Cukup kesal dengan tingkahnya itu.
“ Hah? Apa maksud kamu Put? Gak lucu tau’! Garing!” kembali kubelalakkan mataku.
“ Hmm.. sudahlah Nay.. Apakah memang kamu tidak merasakan hal itu terjadi sejak dulu, dalam dirimu? Dan kurasa itu tidak salah, jika kamu aku ‘cap’ sebagai orang yang menderita ‘penyakit’ itu. Karena realitanya seperti itu. Selama ini pun aku melihat kamu terkesan ‘mati rasa’ pada setiap perhatian-perhatian kaum adam yang berusaha dekat denganmu. Merespon mereka saja tidak pernah.”
“ Apa? Kamu bilang aku mati rasa?” emosiku hampir tersulut
“ Ngg.. yaa begitulah.. hehehh.. piss dah!” sambil menyengir diacungkan dua jarinya, yang tandanya bermaksud meredam emosiku.
“ Hmm.. Put, kamu masih ingat kan, dengan foto-foto yang kamu perlihatkan kemarin? Izal. Sahabatku sejak kecil. Sejak dulu, aku bersahabat dengannya. Sejak ayahnya meninggal, yang juga teman dekat ayahku, waktu kami masih SD. Karena umurnya hanya terpaut dua tahun diatasku, dia ku anggap sebagai sahabatku, sekaligus kakak kandungku sendiri. Tapi ketika kami duduk di bangku SMA, dia ikut pindah dengan kakek dan neneknya melanjutkan sekolah dan kuliah di Jawa. Semenjak saat itu, memang kami kehilangan komunikasi. Ayahku juga tidak pernah menanyakan tentangnya, karena aku sebagai sahabatnya. Tapi dua tahun yang lalu, aku kembali bertemu dengannya. Namun aku terkejut Put. Saat tahu ternyata dia bertopeng. Dia selalu berlaku baik dihadapanku, tapi nyatanya? Kamu juga sudah lihat sendiri foto-fotonya yang kemarin. Jujur Put, sebenarnya aku punya perasaan lebih padanya, lebih dari perasaan saudara dan sahabat. Tapi ketika dia menyatakan perasaanya padaku dan saat itu aku belum tahu tingkah lakunya seperti itu, Ayahku melarang keras untuk tetap tidak bertemu dan berkomunikasi lagi dengannya. Tapi apa? Aku masih tetap kukuh dengan sifat kerasku, Put. Aku marah pada Ayah, yang semenjak itu membatasi ruang gerakku. Tapi Allah sungguh sangat menyayangi Ayahku. Di balik sifat pendiam dan sabarnya ternyata dia sungguh murka dengan kenakalanku saat itu, hingga akhirnya Sang Pemilik Hidup ini mengambil Ayah dari kami, keluarga yang sangat disayanginya…” perlahan airmataku menetes.
“ Nay..” diusapnya bahuku. Bermaksud menguatkan.
“ Iya Nay, aku tahu kamu cukup muak dengannya sejak saat itu. Tapi apakah kamu masih tetap keras menutup hatimu pada orang lain? Hingga nanti akhirnya tidak akan ada seorang pun yang datang padamu dengan rasa tulusnya?” pertanyaan-pertanyaannya membuatku mendelik.
“ Kamu tahu kan, setiap makhluk yang diciptakan Allah itu berpasang-pasangan? Dan sebelum kita dilahirkan ke dunia ini, nasib, rezeki, jodoh, dan kematian sudah ditentukan semuanya oleh pencipta alam semesta ini. Tapi kenapa aku harus mencarinya, jika dia akan datang sendiri padaku? Yang tentunya itu akan mengikatkan pada hubungan yang sah menurut agama kita. Tanpa mengakibatkan dosa yang sangat besar.  Sebenarnya, Philophobia itu tidak pantas kamu jadikan bahan ejekan untukku, Put. Aku seperti ini bukan karena sebuah trauma mendalam. Tapi aku sudah semakin sadar, bahwa Sang Pemilik Hati inilah yang lebih berhak menentukan segalanya. Karena semua akan terjadi dan akan indah pada waktunya, Put.”
“ Ck,ck,ck.. sungguh, kamu tidak diragukan lagi Nay.”
“ Maksudnya?”
“ Sungguh puitisnya dirimu! Hahahaha…..!” kami kemudian tertawa bersama dengan kerasnya.
“ Oh iya, Nay. Mmm.. ngomong-ngomong ada seseorang nih, yang nitip salam sama kamu.” tiba-tiba dia memotong tawaku.
“ Mm.. Siapa? Jangan bilang ya, kalau orang itu, cowok yang kamu kenalin ke aku kemarin-kemarin!” aku sedikit marah, dengan mata melotot.
“ Ya, Selamat! Anda beruntung! Jangan pernah menyerah untuk mencoba lagi! Hahahahh…!” tergelak tertawa.
“ Ihh.. garing, garing, garing! Oke! Salam balik ya! Salam pertemanan. Hehehh..” Sikutnya yang tajam, kemudian menyenggol lenganku.
“ Shhs.. Pupuuuut! Dasar kamu ya!”
Karena tingkahnya, ia langsung ku kejar dengan senjata ‘bantal’ yang ku pegang tadi. Perang bantal pun tidak terhindarkan, karena membalas senggolan lenganku. Maka ‘kejar daku kau kulempar’ terjadi di kamar Puput dengan ramainya. Disela perang kami, kudengar ejekannya yang semakin membuatku terpingkal.
“ Oi..! si Mr. M minta nomor handphone kamu tuh! Hahahahh..!”
“ Jangan ah! Gak tau saya harus ngomong apa kalo mau nolaknya!” kukedipkan sebelah mata, sambil melanjutkan tawa kami.

***

Malam ini semakin tersadar, telah kuhadapi segalanya yang telah berlalu. Karena hidup telah memberiku berjuta warna. Memberikan banyak pelajaran, dari semua kisah yang telah tergores indah. Maka semuanya telah dibumbui oleh setiap rasa yang muncul.
Mereka yang masih mengasihi, menyayangi, dan mencintai. Hadir disetiap pagi ketika mata mulai terbuka. Berusaha menyambut dengan senyuman kerendahan hati. Tak ayal, semua tidak akan pernah terlupakan hingga akhir sang waktu menjemput.
Sebuah catatan kecil kubuat. Hanya sekedar mengekspresikan perasaan hati yang dulu terkungkung dalam permainan dunia. Mungkin pun akan membuat emosi dan jiwa lebih menerima arti disetiap mozaik kehidupan yang terpecah.
*Untuk Anda yang pernah singgah di  lubuk hatiku….
Yang berlalu..
Tenggelam seperti mataharimu
Aku tidak akan pernah menangisi kepergianmu
Dan mungkin, kamu tidak akan pernah melihatku termenung sedikit pun karena mengingatmu…
Kau  baru saja mengajakku ke jalan itu, dan aku mulai menemukan jalanku di jalanmu..
Saat aku menikmati jalanku yang sempat hilang, kau justru berbelok arah..
Namun, biarlah aku menikmati sendiri jalanku di jalanmu dulu..
Biarlah aku bercerita dengan kerikil di jalanku
Walau pun kita tak lagi sejalan.
Kan ku ingat bahwa dirimu pernah mengajakku ke jalan itu, jalanmu….


Karena setiap hati itu memiliki rasa. Rasa yang mungkin mampu membuat kita buta terhadap segalanya. Dan setiap insan telah berbeda dalam menafsirkan rasa itu. Hanya  kepada sumber dan pencipta hatilah baiknya kita kembali. Karena ia adalah Sang Pencipta Cinta yang sejati.
Namun, ketika rasa itu menyapa..
Biarlah ia menyambut pagiku dalam tiap-tiap tetes embun, udara kesejukan, bias cahaya kuning mentari, dan sisa-sisa napas dalam diriku. Menyambut malamku dengan ciptaan di malam-Nya, wajah lelah, senyum kepuasan, dan taffakur diri. Maka semua itu akan  bernilai ibadah bila dijalinkan pada ikatan yang suci.






Di tiap-tiap penghujung malam….
Makassar,  Maret-April 2011
 




*Sebuah senandung dari yang terilhami