Kemarau adalah penerimaan yang lapang. Kemarau adalah
penerimaan pada jejak-jejak angin yang kering lagi berat.
Apalah yang menyadarkan kita, bahwa tanah-tanah
telah jemu pada ocehan dan keluhan kaki?
Apalah yang menggelitik kita, bahwa debu-debu yang
selalu tertolak pada kedua lubang hidung, sedang kita selalu saja
menghirupnya di jalan-jalan kota?
Ketika musim basah datang tanpa henti-henti,
beberapa ocehan juga selalu mengikut pada sepatu-sepatu kita yang basah,
ujung-ujung rok kita yang kotor karena ulah cipratan, tubuh-tubuh kita yang
gigil dan seketika menjadi pemalas ketika dingin membungkus, dan kepala-kepala
kita yang terasa ringan ketika bulir-bulir air langit menyentuh sela-sela
rambut.
Kemarau. Matahari mungkin agak garang pada masa-masa
ini. Iya, mungkinkah? Ataukah mungkin saja matahari sedang menyingkirkan awan
abu-abu dimusimnya ini?
Kemarau. Di musim ini, tak banyak yang menyadari,
umpatan-umpatan gerah berada di tengah-tengah siang.
Tak taukah, tanpa sadar bahwa
sebenarnya mereka merindukan musim yang basah?
Kemarau. Sama halnya pada penghidupan. Dari beberapa
kisah, ternyata, musim kematian telah menggandeng kemarau. Tahun ini. Iya,
tahun ini.
Kemarau. Telah banyak mengantarkan insan-insan pada
keribaan-Nya.
Kemarau. Apakah ketika kita merindui hujan, sedang pelajaran
yang diberikan kemarau akan membuat kita lupa?
Kemarau. Apakah ketika teriknya siang, sedang
pelajaran yang diberikan hujan akan membuat kita lupa?
Kemarau. Seperti pada musim kematian yang menemani,
seperti hujan yang enggan nampak, pernahkah kita menyadari, bahwa mengembalikan
rindu pada keduanya hanya ditujukan pada penciptanya?
Sore dan kemarau dalam Oktober, 2014