Sabtu, 28 Februari 2009

Ponari dieksploitasi?


Seorang bocah laki-laki, yang tinggal di daerah Jombang Jawa Timur, kini mendadak menjadi ‘dukun cilik’ terkenal. Ponari, nama bocah yang masih berumur sembilan tahun. Yap, setelah ‘diprediksi’ memiliki kemampuan yang tidak semua dimiliki orang, kini ia menjadi pusat perhatian yang lagi hangat-hangatnya, baik di media cetak, maupun media elektronik.
Ternyata eh ternyata, Ponari bisa menyembuhkan orang hanya dengan meminum air dari hasil rendaman batu ‘sakti’ yang dimilikinya. Kok bisa? Apa ada sesuatu di dalam diri Ponari? Atau mungkin, batu yang digunakannya itu benar-benar ‘sakti’?
Tapi yang jelasnya, perihal munculnya batu ajaib yang ditemukan Ponari itu, sama sekali tidak realistis, dan gak jelas. Katanya, Ponari pernah disambar petir, yang menyebabkannya dirinya mempunyai kekuatan lain (dan menyebutnya sebagai titisan dewa petir), ada juga yang beranggapan kalo batu itu pernah dibuang Ponari, tapi karena batu itu tidak berpindah tempat, akhirnya batu itu dijadikan media untuk menyembuhkan segala penyakit hanya dengan sekali pengobatan. Edan!
Tapi, kenapa Ponari dianggap sedang dieksploitasi? Nah, gara-gara Ponari dianggap bisa menyembuhkan penyakit hanya dengan mencelupkan batu ‘sakti’nya kedalam air si pasien, hampir sebulan ia tidak sekolah dan bermain dengan teman-teman sebayanya (seperti yang dilakukan anak-anak lainnya). Hal itu disebabkan karena, adanya paksaan dari orang-orang terdekat yang ingin mengambil keuntungan dari itu semua.Bahkan, ayahnya sendiri pun sempat dipukul dan dirawat di rumah sakit, karena pamannya Ponari memaksa untuk mengasuh Ponari, dan terus membuka praktek pengobatannya itu. Padahal, ada penduduk setempat yang sudah menegur, agar praktek itu ditutup. Bahkan, pihak sekolah di tempat Ponari menuntut ilmu pun sudah mengeluarkan surat teguran, agar Ponari kembali masuk sekolah lagi.
Bahkan, lebih parahnya lagi, dari pengobatan itu, ada beberapa pasien yang meniggal, gara-gara terlalu lama nunggu dan kehabisan tenaga. Ada juga sebagian pasien yang mengambil air comberan dan serpihan dinding rumah Ponari. Hah? Dasar nekat! Tidak hanya itu saja, ada juga pasien yang rela ‘nginap’ di rumah Ponari hanya untuk mendapatkan kesaktian dari batu si Ponari.
Kenapa mereka bisa senekat itu? Apa nggak ada pengobatan alternatif selain itu? Yah, bisa dikira-kira hal ini terjadi disebabkan lemahnya perekonomian masyarakat. Liat saja, disekitar rumah Ponari memang adalah perumahan kumuh, dan memang daerah itu masih sangat terbelakang. Mungkin warga memanfaatkan kesempatan ini, agar tidak membayar mahal jika berobat ke rumah sakit.
Yah, faktanya memang semua itu, adalah salah satu bentuk eksploitasi terhadap anak-anak. Kak Seto juga sebagai ketua Komnas Perlindungan Anak, mengungkapkan hal yang sama. Sudah jelas kok, kalo Ponari sekarang tidak mendapatkan hak-haknya sebagai anak, yaitu bersekolah dan bermain, selayaknya anak-anak biasanya. :) bG!

Tindakan Kekerasan di kalangan Pelajar

Sudah sepekan ini, berbagai media massa maupun media elektronik, memberitakan beredarnya video kekerasan di kalangan pelajar. Pertama, beredarnya video perkelahian dua siswi salah satu SMA di Papua. Dan hebatnya lagi, kedua siswi yang berkelahi itu memang sudah dibekali sarung tinju oleh gurunya. Loh? (kok kayak adu jotoss gitu?) Lucunya lagi, perkelahian itu dipicu terjadi, karena guru mereka yang memberikan hukuman dari perbuatannya yang mereka lakukan. Dalam video yang telah beredar di masyarakat luas itu, tergambar kalau siswi-siswi tersebut saling mengadu jotoss dengan sarung tinju, di tengah lapangan sekolah. Tak ketinggalan, salah satu bapak guru di sekolah itu, yang menjadi wasitnya, tak lupa siswa-siswinya juga yang jadi penonton. Ck..ck..ck..
Dan lebih menyedihkan lagi, ada juga video yang tersebar di daerahku (Pinrang-Sul-Sel), yang ceritanya juga mirip dengan yang tadi. Bahkan, tokoh pemerannya juga dua siswi, (SMK) yang sedang adu kekuatan, dan juga dilakukan di lingkungan sekolah. Hm,, katanya sih, perkelahian itu terjadi karena adanya kesalah pahaman antar anggota geng yang mereka bentuk. Nah, setelah video tersebut beredar, dan sempat nongol di tivi, Bapak Bupati di daerahku sangat malu dengan adanya kejadian itu. Bahkan, dia juga kecewa dengan penduduk daerahnya, kenapa giliran pemberitaan yang negatif, nama daerahku bisa nongol tivi, bukannya berita yang positif.
Tapi, kok harus diselesaikan dengan adu fisik seperti itu? Apa nggak ada jalan keluar lain untuk menyelesaikanm masalah?
Memang sih, kalo mau diliat-liat, yang paling rentan untuk melakukan kekerasan adalah kaum remaja. Yah, apalagi remaja itu selalu merasa benar, dan selalu ingin menang. Tapi, menyedihkannya, tayangan video jenis seperti itu, yang umumnya beredar di media ponsel, bisa saja mempengaruhi orang yang menontonnya (terutama anak-anak). Yah, kita kalo mau liat contoh tayangan kekerasan kayak gitu, gak usah jauh-jauh deh. Sekitar dua atau tiga tahun yang lalu, ada segelintir anak yang mencontoh gerakan kekerasan dari tokoh kartun idolanya. Tak ayal, dari sikap ‘mencontoh’ itu, ada yang terpaksa meregang nyawa dengan cara saperti itu. Sadis.
Tapi ya, menurutku sih intinya, kekerasan bukanlah salah satu cara untuk menyelesaikan masalah, dan tidak patut unntuk ditiru. :) bG!

Kompetisi, sebagai ajang eksploitasi anak?

Aku pernah jalan-jalan ke sebuah blog (yang punya orang Purworejo) nih, gini, salah satu artikelnya, membahas tentang kompetisi nyanyi untuk anak-anak (Idola Cilik 2). Kebetulan, salah satu kontestannya, adalah tetangga kecilnya (Agni Idola Cilik 2). Di blognya itu dia bilang, kalo kompetisi seperti Idola Cilik ini salah satu bentuk eksploitasi terhadap anak-anak. Karena, hasil yang didapatkan, tidak sebanding dengan usaha yang dilakukan.
Dia memprediksi, kalo 1% pun anak-anak itu tidak akan mendapatkan hasil dari kerja kerasnya (oh ya?). Mereka cuma diandalkan untuk tampil dan nongol di tivi, dan menjadi ikon dari statiun televisi yang bersangkutan (agar rasa simpati penonton lebih besar). Ah, masa sih?.
Dari hal itu, muncul beberapa pertanyaan di otakku. Apakah sebuah kompetisi bisa disebut salah satu bentuk eksploitasi terhadap anak? Apakah dengan nongol dan berkompetisi di tivi adalah sama saja dengan ‘menjual’ bakat yang dimiliki oleh anak?
Oke, kita liat contoh lain dari anak berbakat yang sudah bisa nongol di tivi. Baim, seorang balita yang berumur tiga tahun lebih, sudah bisa mendapatkan mobil pribadi sendiri dari hasil kerja kerasnya syuting sinetron. Ia mendadak terkenal, setelah menjadi salah satu tokoh di sinetron Cerita SMA (sekarang sedang main lagi di sinetron Tarzan Cilik), yang kebetulan , waktu itu dia hanya dijadikan pemeran pengganti. Nah, apakah hal ini juga bisa dikatakan salah satu bentuk eksploitasi terhadap anak? Ya, walaupun Baim tidak berkompetisi dalam suatu acara ajang pencari bakat. Padahal, sinetron yang telah dibintanginya itu, disiarkan satu stasiun dengan acara Idola Cilik (RCTI).
Nah, menurutku, kompetisi seperti ajang pencari bakat, (atau apa pun deh bentuknya), yang melibatkan anak-anak untuk penyiaran tivi, itu gak ada salahnya selama hal itu bersifat positif, dan tidak menghilangkan hak-hak anak. Bahkan, hal itu juga bisa dijadikan salah satu latihan untuk mandiri di usia dini, dengan mendapatkan materi tentunya (tapi bukan di suruh kerja). Nongol di tivi juga bisa dijadikan latihan untuk bisa ngomong di depan umum, dan bersosialisasi dengan lebih banyak orang.
Ya, ada juga loh satu stasiun tivi yang acaranya diisi oleh sebagian besar anak-anak, dan memang diperuntukkan anak-anak. Space Toon, bisa dikatakan stasiun tivi yang 100% untuk anak. Dan menurutku, dengan adanya stasiun ini, dapat mengurangi dampak dari tontonan kekerasan, yang umumnya dialami oleh anak-anak. Bukan hanya itu, di stasiun ini, anak lebih diarahkan kepada nilai-nilai luhur dan kebaikan, serta pendidikan moral. (aku salut deh, dengan pencetus stasiun ini).
Nah, pada intinya, sebaiknya kita tidak menganggap, kalo dengan mengikuti kompetisi yang ditonton banyak orang, adalah salah satu bentuk eksploitasi, apalagi jika pelakunya adalah anak-anak. Dan selama itu bisa menimbulkan hal positif, why not?
:) bG!

Jumat, 13 Februari 2009




Bulan, bisakah kau memberiku arti dari seorang sahabat?
Bisakah bintang menjelaskan padaku tentang persahabatan?
Mengapa sahabat tak selamanya ikut merasakan pedihku?
Kenapa sahabat kadang tak mengerti duniaku?
Apa mungkin sahabat hanya menginginkan sesuatu dariku?...
-Rinai Embun-

“Surat” Nenden Lilis A

Aku teringat surat yang mengisi masa mudaku. Surat-surat penuh keriangan yang ringan bagai merpati-merpati terbanga di udara. Surat-surat yang datang entah dari sebuah tempat, tak beralamat. Namun surat-surat itu, terus datang mengalir seperti waktu.
Aku bukanlah seseorang yang bisa menulis surat dengan baik dan rapi. Aku pun tak pernah berpikir untuk menjadi orang yang menykai surat-menyurat. Namun, sautu masa silam dalam rentang usiaku yang membuatku aku merasa sangat keepian, asing, dan terpencil. Suatu keasingan dan kesepian yang menganga bagai rongga sebuah kuburan yang terus digali seseorang yang menunggu saat kematian. Suatu kesepian yang dijeritkan gagak-gagak hitam.
Pada saat itulah aku membutuhkan cara untuk mengungkapkan perasaan hati. Maka, secara tak disadari aku mulai menulis kalimat-kalimat, dari yang pendek hingga yang panjang dalam bentuk surat yang kutunjukkan entah pada siapa. Pada setiap siang yang lenggang, aku melakukannya di loteng rumah di samping jendela terbuka yang menghadap ke arah bukit-bukit yang diam dan sunyi. Entahlah, setiap selesai menulis itu, aku merasakan suatu kelegaan dan kenikmatan yang lapang.
Surat-surat itu kadang sangat panjang berisi cerita, keinginan-keinginan yang aku pun tak mengerti, perasaan-perasaan samar dan jauh, keluha-keluhan pada angin. Tapi kadang-kadang pendek saja menyerupai puisi. Aku mengirimkan lewat pos, pada sebuah alamat yang kutulis secara serampangan. Apakah alamat tersebut ada di dunia ini, aku sendiri tidak tahu. Aku tak pernah mengharapkan balasan dari surat-surat yang kukirimkan. Anehnya, surat-surat itu tak pernah kembali. Itu artinya, surat-surat tersebut sampai pada sebuah alamat.
Benar saja. Suatu hari, surat-suratku mendapat balasan. Dengan amplop dan kertas putih berbau harum bunga yang aneh. Pada amplop maupun kertas surat tak tertera nama pengirim maupun alamatnya. Pada surat itu hanya tertulis tanggal,bulan, dan tahun ketika surat itu tak kukenali. Penanggalan berdasarkan kalender bangsa masa apakah yang digunakan si pembalas surat, aku tidak tahu dan tidak mengenalinya.
Kata-kata dalam surat itu begitu halus, tapi begitu tajam, membelai-belai sekaligus mencabik-cabik perasaan. Nemun entah mengapa, setiap selesai membaca surat itu, aku justru merasakn keriangan yang melonjak-lonjak, ringan, namun penuh rahasia. Pada saat itu, tubuhku bagai terbang melintasi padang-padang lenggang.
Kadang-kadang surat-surat itu datang pada tengah malam tatkala hanya angin yang mematahkan ranting yang terdengar. Dalam sunyi seperti itu, terdengar genta yang asing di depan rumahku. Bagai terhipnotis, aku pun kagum dan menuju ke depan rumah. Di balik pagar, aku akan menemukan sepucuk surat seperti baru saja meletakkan seseorang disana. Tapi dalam malam dingin seringkali surat-surat itu bagai selembar daun yang menggigil dijatuhkan angin dari pohon yang tumbuh di alam lalu.
Sebenarnya, isi surat-surat itu bervariasi. Isi surat itu sering sangat indah, mengajakku berjalan-jalan melintasi abad-abad di belakang, mengenali peradaban-peradaban tua dan kisah-kisah manusia. Bahkan surat-surat itu pun secara mempesona bercerita akan keajaiban-keajaiban di zaman yang akan datang, atau makna–makna di mana sekarang yang tak sempat kupahami.
Aku merasa sangat bahagia bahwa entah dengan keajaiban apa, aku balaskan setumpuk surat dari surat-surat yang pernah kukirimkan. Seringkali aku ingin mengetahui siapa pembalas surat-suratku itu. Aku pernah mencari alamat tersebut di buku-buku alamat seperti yang pernah kutulis itu. Di belahan dunia manakah si pembalas suratku berada, aku tidak tahu. Aku pernah menelpon seseorang dengan nomor sembarangan untuk melacak alamat surat itu, tapi tak pernah kutemukan.
Sementara itu, aku terus mengirimkan surat-surat seperti pertama kali kulakukan meski dengan perasaan rendah dan kecil. Perasaan itu menghantuiku karena surat-surat yang kutulis sungguh tak ada artinya dan tak sebanding dengan balasan surat-surat yang kuterima. Sering aku merasa rindu pada si pembalas surat-suratku. Kerinduan itu semakin dalam, menghanyutkan, dan mendesir-desirkan darahku.
Hingga disitulah tulisan itu diakhiri . itulah salah satunya catatan yang mengisi buku harian sahabatku. Aku pernah mengaduk-aduk dokumen-dokumennya yang lain, tapi tak pernah menemukan catatannya yang ain, kecuali secarik kertas yang tinggal di atas meja.
Sahabatku telah mengisi waktu hidupnya dengan kesendirian yang tak seorang pun bisa memahaminya. Dari masa remaja hingga tutup usianya kini, pada usia yang terbilang muda, ia mengabdikan dirinya dalam kesepian. Aku sebagai satu-satunya temannya, tak pernah mengerti perasaan-perasaan dan keinginan-keinginannya yang aneh. Sebenarnya tak pantas untuk menyebutkan aku sebagai sahabatnya, sebab aku dan dirinya tidak sedekat orang yang bersahabat. Aku hanyalah temannya satu-satunya yang cukup terbuka diterima olehnya. Pada orang-orang lainnya ia selalu menutup diri.
Sebagai sahabat atau teman satu-satunya ini, aku jarang ,mengunjung rumah satu-satunya yang kusam dan terpencil itu. Aku sendiri tak mengerti mengapa dia memilih mengontrak di rumah tua dan terasing. Kami tidak pernah bercerita banyak.
Hari ini di saat secara tak sengaja aku mengunjunginya, aku menemukan tubuhnya telah terbujur kaku di sebuah kursi tua di loteng rumahnya yang penuh sarang laba-laba. Tampak wajah sahabatku begitu tentram dengan seulas senyum di bibirnya.
“Hari ini ia datang memenuhi kerinduanku...” tulisnya di secarik kertas yang diletakkan di meja di dekatnya tertanggal hari ini, hari tutup usianya. Ada bunga segar yang entah berasal dari alam mana di vas bunga di atas meja yang sebelumnya tak pernah terisi. Ada wangi yang asing meruap ruangan.
Di atas lemari berdebu, tersimpan setumpuk surat. Mungkin surat-surat yang pernah disebutkannya dalam buku harian. Aku ingin menjamah dan membaca isi surat-surat itu. Tapi sekarang bukan waktu yang tepat untuk mengetahui isi surat-surat itu. Aku harus memberitahukan kematiannya pada penduduk di sekitar sini, dan terutama pada keluarganya yang berada di luar kota.

Sumber : Pikiran Rakyat, 1997

Buah Rambutan, dan pentingnya berbagi....



Tidak terasa, waktu telah cepat berlalu. Kita sebagai manusia kadang tak ingat pada apa yang telah terjadi kemarin. Tau nggak, sudah beberapa hari ini, kami sekeluarga menikmati hasil buah dari pohon yang telah lama tumbuh di pekarangan rumah. Dari gambar di atas, pasti banyak yang menebak kalo kami pasti habis ‘manen’ buah rambutan. Yaps! Betul banget!
Tau nggak, pohon rambutan yang ada di halaman belakang rumahku, baru berbuah sebanyak itu, sejak dari tiga tahun tumbuh!
Wow! Lumayan lama juga ya! Hmm, bukan kami saja yang ketiban rejeki dari hasil pohon rambutan itu, tapi juga tetangga-tetangga ikut menikmati loh! Awalnya, banyak yang gak percaya kalo pohon rambutan bisa tumbuh dan berbuah lebat di daerah kami. Soalnya, di daerahku cuacanya cukup panas. Karena menurut mereka, buah rambutan dan buah musiman kayak durian cuma bisa tumbuh dan berbuah banyak di daerah dataran tinggi (emang iya?).
Tapi entahlah, terserah mereka bilang apa, yang penting kan mereka bisa menikmatinya juga kan? He..he..hee.. Oiyah! Bukan hanya tetangga-tetangga aku aja yang dapat rambutan, tapi keluarga ibuku (nenek, dan saudara) dari kampung kelahirannya, juga dapat bagian loh! Dan bukan hanya pohon rambutan aja yang menghasilkan banyak buah yang ranum, tapi pohon mangga juga nggak kalah banyak menghasilkan buahnya.
Kalo mau diitung-itung, misalkan semua buah dijual, pasti menghasilkan untung yang buanyak! Tapi menurutku, yang terpenting adalah bagaimana kita sebagai manusia, bisa memberi kepada orang lain, jika kita memiliki sesuatu yang lebih. “Jika kita memasak banyak untuk keluarga, berikanlah sebagian kepada tetangga terdekat kita” kayak gitu deh yang sering aku dengar di ceramah-ceramah pengajian. Bahkan aku juga pernah dengar Ustadz yang ngomong gini “jangan diantara kalian tidur dalam keadaan kekenyangan, sementara ada tetangga kalian yang tidak bisa tidur karena kelaparan”
Oh iya, aku ingat! Ada suatu kisah pada zaman pemerintahan Ali bin Abi Thalib, yang menjadi pemimpin setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Ceritanya gini, pada suatu malam, Ali bin Abi Thalib mengajak salah satu pengawalnya berkeliling disekitar rumah warganya, dan mengenakan pakaian seperti masyarakat biasa. Ketika melewati suatu gubuk yang cukup tua, dan bisa disebut gubuk reot, Ali bin Abi Thalib tiba-tiba tersentak mendengar suara tangisan anak-anak yang ada di gubuk itu.
Kemudian dia mengajak pengawalnya untuk mengunjungi pemilik gubuk yang baru dilewatinya tadi. Setelah mengetuk pintu beberapa saat, pemilik rumah yang sebenarnya ibu dari kedua anak yang nangis tadi, kemudian membukakan pintu.
“ Maaf anda siapa, dan ada perlu apa anda datang kemari?” tanya ibu si pemilik gubuk.
“ Maafkan jika saya mengganggu anda. Kami datang kesini karena ingin singgah sebentar di rumah ini, dan menghangatkan tubuh sebelum melanjutkan perjalanan, di luar sangat dingin. Kami ini adalah musafir.” Dengan agak memelas, Ali bin Abi Thalib memohon.
“Oh, iya, silahkan masuk!”
Setelah masuk, dan menghangatkan diri di dalam gubuk tadi, Ali bin Thalib kemudian bertanya kepada ibu itu. “ Ada apa gerangan, yang menyebabkan kedua anak-anakmu menangis?”
“ Mereka sebenarnya kelaparan, karena sudah beberapa hari ini kami sulit untuk mendapatkan makanan. Ini semua karena ketidak adilan Ali kepada rakyattnya! Ali selalu bisa tidur dengan perut kenyang, sedangkan kami? Sesuap nasi pun, sulit bisa kami dapatkan! Ali tak tahu kalau ada salah satu rakyatnya yang serba kekurangan! Kedua anakku terus menangis, karena kelaparan. Sedangkan aku, tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya bisa berbohong kepada mereka, kalau yang aku masak adalah makanan, tapi sesungguhnya aku memasak batu. Agar mereka terus menunggu sampai tertidur.” Ibu kedua anak yang terus menangis itu, bercerita dengan air mata yang terus berlinang.
“ Ibu jangan asal bicara ya...!” dengan cukup kesal, pengawal Ali bin Abi Thalib memarahinya. Tapi dengan cepat, Ali bin Abi Thalib mencegahnya agar tidak mengatakan apapun. Ternyata, Ali bin Abi Thalib tidak marah karena telah dihina seperti itu. Setelah mendengar cerita ibu tadi, Ali bin Abi Thalib bergegas berpamitan pulang. Saat di perjalanan, pengawalnya bertanya, mengapa tadi ia tidak marah. Namun, tiba-tiba Ali bin Abi Thalib menitikkan air mata dan berkata “Sesungguhnya, aku merasa sangat berdosa kepada Allah, karena telah menelantarkan rakyatku yang sangat kekurangan. Sedangkan aku bisa mendapatkan apa saja yang aku inginkan.” Ternyata, pengawal Ali bin Abi Thalib sangat tersentuh dengan kelembutan hati pemimpinnya itu. Karena, Ali bin Abi Thalib sesungguhnya dikenal dengan sifatnya yang begitu keras. Setelah sampai di rumahnya, Ali meminta kepada pengawalnya untuk membawa sebagian bahan makanan yang dimilikinya. “ Tapi tuanku, buat apa bahan makanan sebanyak ini?”
“ Ini semua ingin aku berikan kepada ibu tadi dan kedua anaknya”
“Iya, tapi kenapa sampai sebanyak ini? Ini kan persediaan tuanku untuk beberapa hari?”
“ Lebih baik, saya mati kelaparan daripada melihat rakyatku sendiri tidak makan sama sekali. Aku merasa sangat berdosa kepada Allah, karena telah melalaikan tugasku sebagai pemimpin” Setelah itu, Ali kembali berkunjung ke gubuk tua tadi.
“ Kenapa anda datang kembali kesini?” Dengan sangat heran,ibu yang tinggal di gubuk itu kembali menerima Ali di rumahnya.
”Maaf, saya membawakan anda sedikit bahan makanan dan sedikit uang, agar kalian bisa makan.” Sambil menitikkan air mata, ia pun menerima pemberian Ali.
“Terima kasih banyak tuan, saya sangat berterima kasih kepada anda. Anda sangat baik dibandingkan dengan Ali yang tidak pernah memperhatikan rakyatnya.” Dengan segera, Ali kemudian memasak bahan makanan yang dibawanya tadi. Kemudian, ibu dan kedua anaknya itu pun makan dengan lahapnya. Ali dan pengawalnya, sangat terharu dengan peristiwa yang dialaminya tadi. Setelah itu, mereka berdua berpamitan pulang, ketika ibu dan kedua anaknya sangat berterima kasih atas pemberian pemimpinnya yang tidak mereka ketahui.

Nah, dari sini banyak hikmah yang bisa kita petik. Pelajaran mengenai tanggung jawab seorang pemimpin, pentingnya berbagi, dan kelembutan hati.

Nb. Sebenarnya, musim buah itu sudah beberapa bulan berlalu. Tapi baru kali ini aku bisa posting, coz, aku udah lama nyari warnet yang murah. Hee..hee..hee.. 

Tokoh Idola? Perlu nggak sich…?


Hmm, kalo ngomong masalah idola, “susah-susah gampang’ juga untuk dibahas. Menurutku, setiap orang pasti memiliki tokoh idola, entah tokoh idoanya itu dijadikan sebagai motivasi dalam melakukan setiap perubahan disetiap langkah atau aktivitasnya, atau mungkin…, hanya dijadikan suatu hiburan (Cuma suka liat muka, prestasi, atau kelebihan sang idola).

Hmm, kalo ngeliat keadaan ini, yang paling banyak jadi korban ‘fans idola’ itu kebanyakan kaum remaja pada umumnya (bahkan tak jarang anak-anak dan orang tua yang mengalaminya). Kenapa aku bilang remaja? Yah, remaja kan adalah dimana masa-masa seseorang menghadapi transisi dari masa kanak-kanak ke dewasa (kata para ahli), dan memang pada masa itu kondisi remaja masih labil (alias masih gampang terpengaruh dengan apa yang dilihatnya, dan memiliki rasa ingin tahu yang sangat besar).

Banyak kok sekarang anak ‘ABG’ yang suka niru-niru tokoh idolanya, padahal kalo dibandingin dengan yang sesungguhnya, itu bisa ribuan kali bedanya. Misalnya, ada seorang yang ngefens banget sama penyanyi rock, dan tanpa disadari, dia pun mengikuti gaya sang idolanya (contohnya, menindik telinga, atau bibir, seperti yang dilakukan idolanya).

Ck..ck..ck.. segitunya amat, aku aja yang pernah jadi fans beratnya presenter Nirina Zubir aja, gak kayak senekat itu! (ups..! ketahuan juga deh! Tapi sekarang udah enggak kok! Aku udah insyaf! hee..hee..) Bahkan ada loh, orang yang juga ikut-ikutan niru-niru gaya dan cara berpakaian sang idola! Kalo kayak gitu sih, menurutku hal itu terkesan maksa banget, dan tidak pede dengan gayannya sendiri!

Secara Psikologis, memang wajar-wajar saja, kita mengidolakan seseorang, karena setiap orang ingin mencari model, dan mencari siapa yang sebaiknya menjadi contoh. Tapi pertanyaannya, siapakah yang seharusnya kita idolakan? Jika kita mengidolakan seseorang kemudian orang itu pake anting (mendidik bukan dalam batas yang sewajarnya), apakah kita juga harus pake anting dan mengikuti gaya hingga tingkah laku sang idola? Apakah jika idola itu rambutnya nge-punk, dan rambutnya jigrig gitu, kita juga harus seperti itu?



Nah, aku baru nemuin sesuatu yang unik. Ada seorang penulis buku, namanya Michael Harts. Dia menulis tentang seratus tokoh yang paling berpengaruh di dunia. Nah, aku sebutin ima aja. Yang kelima adalah Kong Hu Cu, keempat Sidharta Gautama, ketiga Nabi Isa a.s, Kedua Isaac Newton, dan yang pertama adalah nabi Muhammad SAW. Loh? Kok bisa?

Coba bayangin, kalo dipikir-pikir, ada nggak sih yang diantara kita yang mengidolakan Nabi Muhammad? Wallahu ‘alam. Dan faktanya, penulis buku itu bukan seorang muslim. Hah? Tapi kenapa dia memposisikan Nabi Muhammad SAW diperingkat pertama sebagai manusia paling berpengaruh di dunia?

Kalo mau ngebayangin nih, Nabi Muhammad tuh, kalo masalah ketampanan, bisa mengalahkan Justin Timberlake atau Leonardo Di Caprio. Pokok’e nggak ada yang bisa nyaingin!

Kalo secara fisik, jika Nabi berjalan dengan orang yang lebih tinggi, dia tak akan kelihatan lebih pendek, dan kalau berjalan dengan orang pendek, nggak akan kelihatan terlihat lebih tinggi. Hidungnya mancung, wajahnya bersinar seperti rembulan. Mm, gagah juga! Kalo beralaman, Nabi Muhammad langsung menghadapkan seluruh badannya, dan kemudian memeberikan tangannya, dan tak akan pernah melepaska tangannya sebelum orang itu melepaskannya. Kalo ketemu sama orang, beliau senantiasa tersenyum. Dan mencela Nabi Muhammad SAW, sabagaimana orang biasa yang memiliki kekurangan dan bisa kita ledek dan dicela. Tapi, Nabi Muhammad perfect, sempurna sekali.

Sekarang, dalam hal sikap. Nabi Muhammad orangnya jenaka, nggak jaim kalo ketemu orang, pendengar yang baik, dan sikapnya sederhana sekali. Pokoknya kalo ketemu beliau pasti deh jatuh cinta!

Suatu ketika, Nabi Muhammad berkumpul bersama para sahabatnya. Dan kemudian Nabi Muhammad bertanya, “ Tahukah engkau, siapakah hamba yang paling mulia?”

Para sahabat menjawab, “Para malaikat ya Rasulullah.”

“Tentu saja malaikat mulia karena dekat dengan Allah.”

“Siapa hamba yang paling mulia itu? Para Rasul khan, ya Rasulullah?”

Tentu saja para Rasul itu mulia. Mereka mendapatkan wahyu langsung dari Allah.”

Lalu siapa ya Rasulullah?”

Coba tebak siapa?”

Mungkin kami para sahabatmu, ya Rasulullah.”

Bagaimana mungkin kalian tidak mulia? Kalian dekat dengan aku.”

Lalu siapa ya Rasulullah?”

Kemudian, dengan tiba-tiba Nabi Muhammad meneteskan air mata, tubuhnya bergunjang dan berkata, “Hamba yang mulia itu kelak akan muncul, kelak akan muncul, yaitu umatku yang tak pernah melihatku, tak pernah berjumpa denganku, tapi merindukan aku, dan aku pun merindukannya.”

Ingat baik-baik, Nabi Muhammad merindukan kita sebagai umatnya. Tapi pernahkah kita merindukan Nabi Muhammad? Siapa yang paling kita idolakan, Nabi Muhammad atau yang lain? Siapa yang paling kita rindukan selama ini, Nabi Muhammad atau yang lain? Nabi Muhammad sayang kepada kita, Nabi Muhammad cinta kepada kita. Tapi kenapa kita lebih mengidolakan yang lain daripada Nabi kita sendiri? Siapakah yang pantas diidolakan?

Coba bayangkan, bagaimana beratnya perjuangan Nabi Muhammad kepada kita. Tahukah, kalo setiap malam Nabi berdoa untuk kita (umatnya)? Tahukah, setiap hari Nabi Muhammad berjuang untuk kita?

Suatu saat (di akhirat) nanti kita akan bersama dengan orang-orang yang paling kita cintai. Seandainya kita mencintai Nabi Muhammad, kelak Insya Allah kita akan berkumpul dengan Nabi Muhammad. Tapi seandainya kita mencintai orang lain dan kemudian begitu mengidolakan, padahal orang itu jauh dari nilai-nilai kebenaran, kemudian karena mengikuti gaya hidup dan perilaku hidupnya, kita juga bisa ikut masuk neraka. Naudzubillah min dzalik!

Tapi, pada intinya, ketika kita mengidolakan seseorang, kita harus tahu mana yang sebaiknya kita tiru dan yang tidak harus ditiru. Agar kelak, tidak merugikan diri kita sendiri.

Dikutip dari berbagai sumber



Artikel ini, sebenarnya memberikan suatu pelajaran yang sangat berharga. Yaitu, belajar menempatkan sesuatu pada hal yang sewajarnya, agar tidak merugikan diri kita sendiri, dan memberikan manfaat yang lebih baik.

Jumat, 06 Februari 2009

Diam adalah salah satu cara untuk menghambarkan rasaku
Sebuah argumentasi telah menekan jiwaku
Cemohan, sindiran, dan makian, seakan mengekori kagalauanku,
dan mengkerdilkan batin nuraniku
Hati bagai suatu cerminan sikap, yang memberikan sejuta rahasia dan
makna dari perasaan hidup
Mata tak dapat membaca hati yang semu
Hati juga tak dapat menepis hembusan pada keasaan
Hingga ku tunggu suatu suara, yang memberikan penjelasan tentang
kesetiaan dan janji pada ikatan yang ku pijak

Oktober 2008
Embun pagi kian merona.
Cahaya kuning membiaskan titik-titik kesegaran.
Zona timurmemancarkan keriangan nyanyian pagi.
Alam memberikan ruas-ruas udara untuk ku hirup.
Ciptaan tuhan menyambut setiap pagi yang penuh kisah.
Tapi tak seperti hatiku yang mendambakan ketenangan.
Yang tak nampak jua....
Di tempatku berpijak
22 Januari 2008
Ku ingat Engkau saat alam begitu gelap, dan wajah zaman berlumuran debu hitam.
Kusebut nama-Mu dangan lantang di saat fajarmenjelang, dan fajar pun merekah seraya menebar senyuman indah.
Betapa pun ku lukiskan keagungan-Mu, dengan deretan huruf, kekudusan-Mu tetap yang maha Agungsedang semua makna, akan lebur, mencair, di tengah keagungan-Mu, wahai Rabb-Ku

LaTahzan