Selasa, 14 Januari 2014

Lelaki Pengubah Zaman

Engkau yang menjadi tuntunan dalam lipatan-lipatan masa
Pada kerasnya kukuhmu
Juga peluh
Tangis
Juga jaminan jannah-Nya
Selalu saja hati-hati baru yang merindukanmu
Sujud-sujudmu yang menggema semesta
Menolehkan insan-insan yang redup
Apa yang mampu kami jawab, ketika wasiatmu dipinta pada waktunya kelak?
Meskipun pula gerak-gerak ummatmu masih berwajah dua
Tuluskah?
Masihkah cinta dan keimanan itu merindukanmu?
Yaa, Muhammad, Rasul Allah!




Dalam masa kelahirannya,

VAA Makassar, 14 Januari 2014 

Senin, 13 Januari 2014

Buatmu yang (me)rindu

Yang membaca. Simak ini:

Hei, jika hatimu beberapa waktu menginginkan sendiri, apa yang kamu lakukan?
Ketika kedua tangan yang berbeda dalam beberapa waktu tak bersentuh, adakah sedikit tanya kabar pada pemilik tangan itu?
Jika wajah-wajah dan berpasang-pasang bibir tak saling bersapa, saling berceloteh dalam beberapa waktu, akan kau lakukan apa ketika menemukannya kembali dalam ruang yang berbeda?
Pikirmu dia menghilang?
ah, tidak. Dia tak menghilang. Ia masih tetap ada.
Bahkan ketika kau merindukannya, ia masih tetap ada.
Dia tahu bahwa kau merindukannya.
Dia  juga tahu bahwa sebenarnya ia tak sendiri, meski saat ini dia memilih untuk sendiri.
Dia peka. Dia tahu kapan sebenarnya waktu bisa diwujudkan pada pertemuan-pertemuan.
Tetapi, ini kali ia tak menginginkan pertemuan.
Ia bahkan tak menginginkan ada sejuta pertanyaan yang mungkin menyerangnya, tatkala pertemuan terjadi tanpa menyengaja.

Tiga tahun, tiga bulan, lebih beberapa hari.
Tahukah kalian, bahwa masing-masing diri tiap kita memiliki kisah sendiri?
Kisah ketika kaki-kaki lugu kita menginjakkan jejak di almamater berkampus ungu.
Bertemu dengan berbagai macam manusia yang baru (oh, mungkin itu kali pertama kita bertemu).
Sambil enggan dan malu-malu berusaha mengenal satu sama lain.
Rela menyerahkan diri pada setitik ilmu yang ada di kampus.
Karib. Sahabat. Juga konflik.
Kita. Ah, kita. Masih saja meragukan jika “kita” masih menyandang dalam kebersamaan yang tak utuh.
Itu bukan kita. Tapi kalian.
Dan diri ini sadar sepenuhnya, bahwa saat ini bukanlah bagian dari “kita”.
Mengapa?
Sederhana. Karena saat ini, diri ini, memilih tenggelam pada sandang “kita” yang lain.
Yang begitu mengubah dunianya sangat kontras.
Yang berbeda. Tanpa kejaran-kejaran akhir studi.
Belajar. Diri ini masih tetap belajar.
Tapi dengan bentuk yang berbeda.
Ya. Belajar pada makna di setiap sisi-sisi kehidupan.
Sungguh memilih itu, dalam beberapa waktu.
Mengapa?
Karena saat ini merasa jenuh.
Jenuh?
Ya. Jenuh pada gerak-gerak yang berulang. Pada sesuatu yang biasa, lebih menjemukan.
Diri ini ingin menatap dunia luar. Memandang beberapa yang luput dari pikiran kalian.
Seperti impian tiap-tiap kalian. Meraih toga tahun ini.
Akan kuberi selamat, pelukan, dan senyuman terbaik, jika kalian telah sukses meraihnya.
Akan kudatangi kalian, tanpa perlu diminta.

Hei. Ingat, ya. Perempuan yang dicari itu,bBaik-baik saja saat ini.
Meski dia sedikit rapuh pada tubuh ringkihnya.
 Dia tidak menghilang. Dia masih ada.
Masih tak bosan menapakkan kaki-kakinya di cerita lain.
Masih mencari dan menciptakan dunianya sendiri. Juga kisahnya.
Tahukah engkau, saat ini benar-benar dia memilih diam.
Diam untuk menyampaikan apa yang saat ini dia lakukan.
Dia hanya tidak ingin terganggu untuk sapa kabar yang menanyakannnya.
Tenang. Dia masih baik-baik saja. Dia tidak menghilang.
Dia hanya memilih untuk mengurung dirinya sendiri pada kisah lain, pada waktu ini.
Dia lebih memilih berkutat pada kepentingan orang banyak. Untuk jiwa-jiwa tunas yang sama-sama belajar.
Dia sesungguhnya tak suka pada khawatir yang berlebihan. Bahkan pun ketika pada suatu saat kau menemukannya.
Itulah, dia yang introvert.
Dia memilih menjadi bagian di kisah yang lain. Bukan di kisah kalian saat ini.
Ya. Itulah dia. Yang selalu diam ketika masing-masing kalian dikumpulkan dalam ruang-ruang kuliah yang sama.
Tapi sesungguhnya memang dia tidak diam dalam gambaran wajahnya.  
Bahwa sesungguhnya dia berontak. Pada pemikiran-pemikirannya hingga kini. Pada gerak-gerak jarinya dikumpulan kata.
Ingat. Dia tidak menghilang. Hanya lebih memilih menempatkan dirinya di kisah yang lain, saat ini.

Terima kasih untuk kalian yang masih mencari jejak diri ini. Terima kasih telah mengingat (meski saat ini masih merasa terlupakan).
Selamat berjuang untuk kalian, yang sedang menggempur kisah bersama.
Terima kasih telah berkenan membaca kabar ini. 

Benar. Bahwa tiap-tiap manusia dalam dimensi, memiliki kisahnya masing-masing.

Tak perlu terlalu mengkhawatirkan. Dia akan baik-baik saja. Yakinlah. ^_^




Dalam sisa gerimis malam,
VAA Makassar, 13 Januari 2014

Rabu, 01 Januari 2014

TOWR FLP Sulsel 2013: Kontemplasi dan Cerita-Cerita

Baiklah. Mungkin waktu telah sangat jauh tertinggal ketika kutuliskan ini. Ada banyak yang terlewatkan. Tentang cerita-cerita. Kisah-kisah. Karena hanya masalah waktu dan kesalahpahaman keinginan. Apa yang salah ketika urusan-urusan saling menindih, saling berdesakan, tanpa memikirkan betapa ringkihnya tubuh ini?

Ah. Tak lain ini adalah kesia-siaan yang  kembali terulang.

Penyesalan!

Penyesalan datang lagi, ya?
Sudah berapa lama kau membuang-buang lagi waktumu?
sudah berapa banyak kekata yang tidak kau acuhkan untuk rumah keduamu ini?
Seberapa pentingnya urusan-urusan itu, sehingga belakangan kamu memilih untuk diam tak berkata dalam beberapa waktu?

Bukankah diluar sana telah banyak ide yang menawarkan dirinya untuk kau nyatakan dalam himpunan kata?
Bukankah keberpihakanmu pada banyak orang, pada tangan-tangan remaja mereka, pada kajian-kajian kalam-Nya, (pada sosialismu, lebih tepatnya) membuatmu anyir pada kekatamu yang dulu?

Sudahlah, hati. Kutahu, bahwa aku telah sangat banyak melewatkan waktu. Melewatkan banyak lipatan-lipatan peristiwa yang seharusnya –dulu- bisa kurekam dalam ikatan-ikatan kata. Maka, berusaha kuhadirkan diriku pada suatu waktu yang menyeretku untuk memaksa memeluk kembali kekata.

Ya! Kembali memeluknya dari dekapan yang melonggar. Dekapan yang –dulu- kuibaratkan sebagai salah satu jalan hidupku. Menjadi seorang penulis.

Ia Yang Maha Menyayangi. Yang akhirnya mengiznkan raga ini bisa berkumpul (kembali) bersama pejuang pena. Meski amanah dan tuntutan lain juga merengek untuk diperhatikan. Tapi bermula lagi kepada niat ini, yang ingin mengembalikan gairah menulis yang telah lama terkikis oleh kepadatan retorika dalam gerak-gerak lainnya.

Baiklah. Akan kuceritakan -lebih tepatnya mencoba merekam jejak-jejak melalui kata- kisah akhir di penghujung desember akhir tahun ini. Sebagai penebus kesalahanku.

Bermula, ketika akhir tahun di dua tahun yang lalu (desember 2011), Allah menakdirkanku dan beberapa calon penulis lainnya duduk bersama dalam suatu kegiatan “TOWR FLP Sulsel 2011 Pucak, Maros” dan juga bergabung di keluarga besar Forum Lingkar Pena (FLP).

Tiga hari kami diberikan ilmu, saling berbagi kisah dan juga cerita. Masih teringat jelas juga dari candaan kami yang mengalir saat malam sebelum meninggalkan Pucak, bersama “Keluarga Pucak Sepoi-Sepoi”. Heboh juga kami saat itu, mendeklarasikan terbentuknya “keluarga” itu.
Sangat teringat jelas keakraban kami, Fiqah, Wina, Arini, Neya, Icha, Cita, Army, Suthe’, Ima, dan juga diriku.

Namun, setelah lebih kurang dua tahun kemudian, saat TOWR di Bantimurung kemarin, hanya aku dan Fiqah yang bisa ikut kembali berkontribusi di kegiatan TOWR Sulsel di Bantimurung, meskipun bukan lagi sebagai peserta, tetapi sebagai panitia di kegiatan ini.

Tapi mungkin seperti itulah jalannya. Kami tak bisa berkumpul bersama lagi, mengingat tuntutan akademik yang masih mereka prioritaskan belakangan ini, dan juga tuntutan-tuntutan lainnya.

Namun Fiqah, ya, Fiqah. Si perempuan Azure Azalea yang juga saat itu ,ternyata, merindukan kehadiran Keluarga Pucak Sepoi-Sepoi. Tapi entah diriku yang terkadang malu-malu jika harus mengekspos Keluarga Pucak Sepoi-Sepoi. Entah kenapa.

Dua puluh tujuh hingga dua puluh sembilan desember 2013 -kurang lebih dua tahun sejak kebersamaan di Pucak ada di hidupku(kami)- masih mutlak bahwa setiap tempat memiliki cerita. Setiap peristiwa memiliki kenangannya sendiri.

Bantimurung. Sebuah tempat wisata di kabupaten Maros, yang terkenal dengan kupu-kupu dan air terjunnya. Lokasi ini sungguh sangat tidak asing bagiku, baik nama maupun tempatnya. Ini sungguh sangat berbeda dengan Pucak, yang dulunya sangat asing nama dan tempatnya bagiku, meski berada di kabupaten yang sama.

Dua puluh tujuh desember, siang itu, tepatnya hari Jumat. Sungguh jumat barokah. Kami dipertemukan dalam satu kepentingan. Sama-sama berkepentingan menuntut ilmu, apapun peran kami dalam kegiatan itu. Kami sama-sama datang untuk belajar.

Setelah berkumpul di sebuah lokasi sebelum berangkat, akhirnya kami berada di lokasi kegiatan. Subhanallah, seketika terkagum-kagum dengan lokasi TOWR kali ini. Sebuah penginapan yang memiliki kolam renang dengan air berwarna hijau, (cukup bertanya-tanya juga, kenapa air kolamnya berwarna hijau, berbeda dengan kolam renang anak-anak yang tampak jauh memamng airnya sangat jernih) pohon kelapa dan karts yang menjadi latarnya. Tak lupa pula awan yang sesekali melepaskan gerimis. Semuanya terlihat tersusun secara apik.
      
 Malam akhirnya bertemu kami, setidaknya mempertemukan kami dalam forum. Kami memulai malam itu dengan materi “Dakwah dan Kepenulisan”. Ibunda Rahmawati Latief, nama yang tidak asing bagiku namun kali pertama bertemu dalam kehangatan beliau malam itu, bergabung dan menyuguhkan kami ilmu. Kembali menyadarkan kami, bahwa menulis haruslah memiliki tujuan yang baik, bahwa menulis hanya untuk kebaikan, untuk kemaslahatan ummat. Sangat tersadar dengan garis besar yang disampaikan beliau. Sadar akan beban seorang penulis terhadap tulisan-tulisan yang dibuat. Bahwa segala sesuatunya akan dipertanggungjawabkan, kelak.

Keesokan pagi, mengantarkan kami pada suguhan materi Mbak Afifah Afra. Salah satu penulis yang ditunggu-tunggu kehadirannya. Ah, juga karyanya. Bukunya yang tidak sempat kumiliki karena kehabisan. Kekagumanku pada karya-karya beliau, semakin membuat penasaran untuk memiliki buku-bukunya.

Siang menjelang sore datang, Mbak Dalasari Pera menyapa kami dengan ilmu-ilmu puisinya. Keberuntunganku menemani beliau selama menyampaikan materi, kembali menambah ilmuku dalam perpuisian. Rasanya rindu, rindu sekali ingin kembali menyelami dunia puisi yang telah lama jauh.

Singkatnya, Kak S. Gegge Mappangewa juga setia hadir menemani kami. Membimbing dan mengarahkan kami dalam kepenulisan, juga motivasi menulisnya yang sangat bermanfaat.

Hingga, pagi hari terakhir pada sesi travel writing, tak kalah menariknya ketika kami berhasil menaklukkan ratusan anak tangga yang mendaki, curam, becek, dan licin untuk mencapai gua mimpi. Di gua mimpi, kami sempat mengamati stalaktit dan stalagmit, meski tidak secara menyeluruh ke dalam gua. Tapi kami beruntung sudah menaklukkan perjalanan menuju gua. Juga air terjun yang saling memburu deras, setelah ditemani hujan dan gerimis.
                                                bersama Kak Irna, Kak Dian, Ika, dan Kak Mita

Terakhir. Setelah semua sesi selesai, setelah rangkaian penutupan juga telah dirampungkan, kami bersiap untuk berpisah. Tak lupa juga menggendong Asiyah Salsabila, putri dari salah satu peserta TOWR, ibu muda yang berusia 18 tahun, Shafiyah Zakiah. Bahagia juga bisa bertemu keduanya. Dua perempuan yang menyatu dalam keluarga besar FLP. Beruntung bisa mengenalmu, Zakiah. Banyak belajar darimu (meski cuma banyak memerhatikan gerak-gerikmu mengurus Asiyah disela-sela menerima materi, juga semangatmu mengikuti kegiatan hingga selesai tanpa terbebani tanggung jawab sebagai seorang ibu), setidaknya ini juga sebagai bekal bagiku sebelum menjadi seorang ibu. 

Senang bisa menggendongmu, Asiyah. Semoga tetap seperti itu, menjadi anak sholeha dan tidak rewel. Akan selalu merindukanmu, adik cantik. Semoga kita bisa dipertemukan dan menggendongmu kembali di lain waktu.

Satu lagi yang tidak akan terlupakan dari kisah ini. Ketika kami berpisah, saling berjabat tangan dan berpelukan. Erat, erat sekali. Berharap itu bukanlah yang terakhir. Sebagai salah satu bahasa tubuh dari indahnya ukhuwah kita dan indahnya pertemuan kita.

Semakin berharap. Semoga ini bukanlah yang terakhir. Tetapi ini sebagai permulaan yang manis untuk kita, sama-sama memperjuangkan Dakwah bil Qalam.  

Semoga.  ^_^

Momen sebelum berpisah: para akhwat panitia dan SC


Bersama hujan dalam Ashar,

VAA Makassar, 1 Januari 2014