Baiklah. Mungkin waktu telah sangat jauh tertinggal ketika
kutuliskan ini. Ada banyak yang terlewatkan. Tentang cerita-cerita. Kisah-kisah.
Karena hanya masalah waktu dan kesalahpahaman keinginan. Apa yang salah ketika
urusan-urusan saling menindih, saling berdesakan, tanpa memikirkan betapa
ringkihnya tubuh ini?
Ah. Tak lain ini adalah kesia-siaan yang kembali terulang.
Penyesalan!
Penyesalan datang lagi,
ya?
Sudah berapa lama kau
membuang-buang lagi waktumu?
sudah berapa banyak kekata yang tidak kau acuhkan untuk rumah keduamu ini?
Seberapa pentingnya urusan-urusan
itu, sehingga belakangan kamu memilih untuk diam tak berkata dalam beberapa
waktu?
Bukankah diluar sana
telah banyak ide yang menawarkan dirinya untuk kau nyatakan dalam himpunan
kata?
Bukankah keberpihakanmu pada banyak orang, pada tangan-tangan remaja mereka, pada
kajian-kajian kalam-Nya, (pada sosialismu, lebih tepatnya) membuatmu anyir pada
kekatamu yang dulu?
Sudahlah, hati. Kutahu, bahwa aku telah sangat banyak
melewatkan waktu. Melewatkan banyak lipatan-lipatan peristiwa yang seharusnya –dulu-
bisa kurekam dalam ikatan-ikatan kata. Maka, berusaha kuhadirkan diriku pada suatu
waktu yang menyeretku untuk memaksa memeluk kembali kekata.
Ya! Kembali memeluknya dari dekapan yang melonggar. Dekapan yang
–dulu- kuibaratkan sebagai salah satu jalan
hidupku. Menjadi seorang penulis.
Ia Yang Maha Menyayangi. Yang akhirnya mengiznkan raga ini
bisa berkumpul (kembali) bersama pejuang pena. Meski amanah dan tuntutan lain
juga merengek untuk diperhatikan. Tapi bermula lagi kepada niat ini, yang ingin
mengembalikan gairah menulis yang telah lama terkikis oleh kepadatan retorika
dalam gerak-gerak lainnya.
Baiklah. Akan kuceritakan -lebih tepatnya mencoba merekam
jejak-jejak melalui kata- kisah akhir di penghujung desember akhir tahun ini. Sebagai
penebus kesalahanku.
Bermula, ketika akhir tahun di dua tahun yang lalu (desember 2011),
Allah menakdirkanku dan beberapa calon penulis lainnya duduk bersama dalam
suatu kegiatan “TOWR FLP Sulsel 2011 Pucak, Maros” dan juga bergabung di
keluarga besar Forum Lingkar Pena (FLP).
Tiga hari kami diberikan ilmu, saling berbagi kisah dan juga
cerita. Masih teringat jelas juga dari candaan kami yang mengalir saat malam
sebelum meninggalkan Pucak, bersama “Keluarga Pucak Sepoi-Sepoi”. Heboh juga
kami saat itu, mendeklarasikan terbentuknya “keluarga” itu.
Sangat teringat jelas keakraban kami, Fiqah, Wina, Arini,
Neya, Icha, Cita, Army, Suthe’, Ima, dan juga diriku.
Namun, setelah lebih kurang dua tahun kemudian, saat TOWR di Bantimurung kemarin, hanya aku dan Fiqah yang bisa ikut kembali berkontribusi
di kegiatan TOWR Sulsel di Bantimurung, meskipun bukan lagi sebagai peserta,
tetapi sebagai panitia di kegiatan ini.
Tapi mungkin seperti itulah jalannya. Kami tak bisa
berkumpul bersama lagi, mengingat tuntutan akademik yang masih mereka
prioritaskan belakangan ini, dan juga tuntutan-tuntutan lainnya.
Namun Fiqah, ya, Fiqah. Si perempuan Azure Azalea yang juga
saat itu ,ternyata, merindukan kehadiran Keluarga Pucak Sepoi-Sepoi. Tapi entah
diriku yang terkadang malu-malu jika harus mengekspos Keluarga Pucak
Sepoi-Sepoi. Entah kenapa.
Dua puluh tujuh hingga dua puluh sembilan desember 2013 -kurang
lebih dua tahun sejak kebersamaan di Pucak ada di hidupku(kami)- masih mutlak
bahwa setiap tempat memiliki cerita. Setiap peristiwa memiliki kenangannya
sendiri.
Bantimurung. Sebuah tempat wisata di kabupaten Maros, yang terkenal dengan kupu-kupu dan air terjunnya. Lokasi
ini sungguh sangat tidak asing bagiku, baik nama maupun tempatnya. Ini sungguh
sangat berbeda dengan Pucak, yang dulunya sangat asing nama dan tempatnya
bagiku, meski berada di kabupaten yang sama.
Dua puluh tujuh desember, siang itu, tepatnya hari Jumat.
Sungguh jumat barokah. Kami dipertemukan dalam satu kepentingan. Sama-sama
berkepentingan menuntut ilmu, apapun peran kami dalam kegiatan itu. Kami sama-sama
datang untuk belajar.
Setelah berkumpul di sebuah lokasi sebelum berangkat,
akhirnya kami berada di lokasi kegiatan. Subhanallah, seketika terkagum-kagum
dengan lokasi TOWR kali ini. Sebuah penginapan yang memiliki kolam renang
dengan air berwarna hijau, (cukup bertanya-tanya juga, kenapa air kolamnya
berwarna hijau, berbeda dengan kolam renang anak-anak yang tampak jauh memamng
airnya sangat jernih) pohon kelapa dan karts yang menjadi latarnya. Tak lupa
pula awan yang sesekali melepaskan gerimis. Semuanya terlihat tersusun secara
apik.
Malam akhirnya
bertemu kami, setidaknya mempertemukan kami dalam forum. Kami memulai malam itu
dengan materi “Dakwah dan Kepenulisan”. Ibunda Rahmawati Latief, nama yang
tidak asing bagiku namun kali pertama bertemu dalam kehangatan beliau malam
itu, bergabung dan menyuguhkan kami ilmu. Kembali menyadarkan kami, bahwa
menulis haruslah memiliki tujuan yang baik, bahwa menulis hanya untuk kebaikan,
untuk kemaslahatan ummat. Sangat tersadar dengan garis besar yang disampaikan
beliau. Sadar akan beban seorang penulis terhadap tulisan-tulisan yang dibuat. Bahwa
segala sesuatunya akan dipertanggungjawabkan, kelak.
Keesokan pagi, mengantarkan kami pada suguhan materi Mbak
Afifah Afra. Salah satu penulis yang ditunggu-tunggu kehadirannya. Ah, juga
karyanya. Bukunya yang tidak sempat kumiliki karena kehabisan. Kekagumanku pada
karya-karya beliau, semakin membuat penasaran untuk memiliki buku-bukunya.
Siang menjelang sore datang, Mbak Dalasari Pera menyapa kami
dengan ilmu-ilmu puisinya. Keberuntunganku menemani beliau selama menyampaikan
materi, kembali menambah ilmuku dalam perpuisian. Rasanya rindu, rindu sekali
ingin kembali menyelami dunia puisi yang telah lama jauh.
Singkatnya, Kak S. Gegge Mappangewa juga setia hadir
menemani kami. Membimbing dan mengarahkan kami dalam kepenulisan, juga motivasi
menulisnya yang sangat bermanfaat.
Hingga, pagi hari terakhir pada sesi travel writing, tak kalah menariknya ketika kami berhasil
menaklukkan ratusan anak tangga yang mendaki, curam, becek, dan licin untuk
mencapai gua mimpi. Di gua mimpi, kami sempat mengamati stalaktit dan stalagmit,
meski tidak secara menyeluruh ke dalam gua. Tapi kami beruntung sudah menaklukkan perjalanan menuju gua. Juga air
terjun yang saling memburu deras, setelah ditemani hujan dan gerimis.
bersama Kak Irna, Kak Dian, Ika, dan Kak Mita
Terakhir. Setelah semua sesi selesai, setelah rangkaian penutupan
juga telah dirampungkan, kami bersiap untuk berpisah. Tak lupa juga menggendong
Asiyah Salsabila, putri dari salah satu peserta TOWR, ibu muda yang berusia 18
tahun, Shafiyah Zakiah. Bahagia juga bisa bertemu keduanya. Dua perempuan yang
menyatu dalam keluarga besar FLP. Beruntung bisa mengenalmu, Zakiah. Banyak
belajar darimu (meski cuma banyak memerhatikan gerak-gerikmu mengurus Asiyah
disela-sela menerima materi, juga semangatmu mengikuti kegiatan hingga selesai
tanpa terbebani tanggung jawab sebagai seorang ibu), setidaknya ini juga sebagai
bekal bagiku sebelum menjadi seorang ibu.
Senang bisa menggendongmu, Asiyah.
Semoga tetap seperti itu, menjadi anak sholeha dan tidak rewel. Akan selalu
merindukanmu, adik cantik. Semoga kita bisa dipertemukan dan menggendongmu kembali
di lain waktu.
Satu lagi yang tidak akan terlupakan dari kisah ini. Ketika kami
berpisah, saling berjabat tangan dan berpelukan. Erat, erat sekali. Berharap itu
bukanlah yang terakhir. Sebagai salah satu bahasa tubuh dari indahnya ukhuwah
kita dan indahnya pertemuan kita.
Semakin berharap. Semoga ini bukanlah yang terakhir. Tetapi ini
sebagai permulaan yang manis untuk kita, sama-sama memperjuangkan Dakwah bil Qalam.
Semoga. ^_^
Momen sebelum berpisah: para akhwat panitia dan SC
Bersama hujan dalam Ashar,
VAA Makassar, 1 Januari 2014