“Menanggung
rindu memang berat, perempuan. Bahkan mungkin lebih berat ketika kauputuskan
untuk tidak menyampaikannya pada yang kaurindukan.”
Tersebutlah pada suatu
senja yang enggan kembali mencipta monolog tentang rindu. Iya. Seketika itu,
sangat jelas rindu betul-betul merekat. Menempel pada ingatan-ingatan yang
sungguh ingin melupa.
Dik, di beberapa waktu
yang berucapkan rindumu yang berjarak, entah mengapa hampa-hampa selalu saja
menjelma pada ketegaran yang sungguh rapuh.
Pikirmu, kakakmu ini
tegar menyembunyikan rindunya, Dik?
Yang kautahu mungkin
seperti itu.
Kakakmu ini tak seperti
dirimu, yang dengan mudahnya meluahkan rindu.
Tak seperti dirimu.
Dik, andai kautahu pula,
tiap-tiap rindu yang pernah (pun) kausisipkan pada jarak-jarak waktu yang
membawamu saat ini, sesungguhnya ada beberapa tanya-tanya yang pernah hinggap.
Sungguh, seberat itukah
kaumenanggung rindumu, Dik?
Seberat itu pulakah
ketika kaumenanggung rindu yang selalu ingin kauluahkan, ketika pun terkadang
kakakmu ini tak menyadari?
Ah, mungkin kakakmu ini
terlalu betah menyembunyikan rindu-rindunya dibalik perjalanan-perjalanan,
terlalu betah dengan diamnya.
Ataukah mungkin terlalu
betah dengan mengamatinya.
Dik, seperti yang pernah diketahuinya,
kakakmu telah tahu, bahwa rindu tak mesti terumbar.
Tak mesti semua orang
mengetahui.
Cukup itu, Dik.
Dan, ketika rindumu
kembali menghampiri, kirimkanlah doa-doa.
Sebab mendoakan adalah
cara yang lebih damai untuk menjadikan rindumu tetap senyap.
Akhir
Agustus-September 2014