Jumat, 18 Juli 2014

Memeluk Bahagia



“Bahkan bahagia juga bisa hadir dalam senyap.”

Bagi sebahagian besar manusia, bahagia adalah sebuah yang didapati pada senyum-senyum, kabar-kabar baik, impian yang terwujud, tentang rasa, dan apapun yang menjadikannya melekat dalam ingatan.

Termasuk yang pernah mengatakan bahwa bahagia juga bisa hadir dalam senyap.

Bahagia?

Adakah yang bisa mendefinisikan bahagia menyerupa apa?

Apakah sepenuhnya bahagia adalah ketika engkau mendapatkan apa yang telah lama kauimpikan?

Yang kauinginkan?

Jika betul adanya seperti itu, pernahkah kaumerasa bahagia, ketika kegagalan-kegagalan saling berebut menghimpitmu?

Apakah bahagia adalah ketika semua hal yang kauinginkan berjalan sesuai dengan harap-harapmu? Seperti yang kau inginkan?

Jika betul adanya seperti itu, pernahkah kaumerasa bahagia, ketika ketidaksesuaian inginmu akhirnya datang sekenanya tanpa kauminta?

Apakah bahagia adalah ketika semua hal-hal perih yang pernah kauinjak untuk menghilang, tetapi semuanya tetap berkeras tak payah?

Apakah bahagia adalah ketika semua hal-hal membuatmu tersenyum manis dan wajah-wajah yang kaudapati berbalik semringah?

Bahagia.

Kepadamu, yang selama ini terus-menerus mencari bahagia, pada jalan-jalan becek, kumuh-kumuh rumah, kebisingan kota, kepenatan tubuh, angan-angan, hiruk pikuk hedonis, helaian udara, atau pun pada sunyi-sunyi.

Kabari, kabariku ketika bahagia tak pernah datang dari dirimu sendiri.

Kabariku, ketika bahagia hanya kautemukan di luar, bersama manusia-manusia lain.

Ah, apakah tak pernah kaupikir bahwa bahagia ada adalam dirimu sendiri, tanpa perlu kaucari?

Seberapa teganya bahagia seenak jidatnya bisa meninggalkanmu seperti itu?

Bahagia itu sesungguhnya bisa kaubentuk sendiri.

Campurkan dengan titik-titik warna yang kausukai.

Warna yang pernah kaucerita waktu itu. Tentang warna yang selalu membuatmu lupa pada masa lalu.

Peluk.

Peluklah bahagia, seperti pernah kaumemeluk tubuh-tubuh yang kausayangi, bersama bahagia.



Menjelang penghabisan Ramadhan,

Makassar, 18 Juli 2014


Kamis, 10 Juli 2014

Monolog Rindu

            Menuliskan rindu, teringat dengan seorang yang tak pernah jemu menuliskan kata berlima huruf ini. Iya. Dan akhirnya rindu itu benar-benar merangkul, pada malam sebelum kepulangan. Rindu itu datang dengan senyumnya yang menjengah.

Meski pada rindu-rindu yang kemarin telah disambut ‘debat’ pada pilihan calon penguasa tahta negeri ini, tetapi sungguh rindu itu seketika mengeras membatu, Bu. Dan, tak semestinya masing-masing kita memilih untuk diam dingin pada ego.

Aih, sudahlah, Bu.

Diam-diam, ternyata ada sebuah rindu yang pernah kusembunyikan dari saku heningku.

Pernah menyimpan rindu itu, ketika memilih kewajaran dan menjadikannya sebagai sebuah hal yang ‘biasa-biasa’ saja, Bu.

Tetapi, entah. Di tengah sisa gerimis yang meniupkan malam kali ini, rindu itu menguat, Bu.

Rindu itu seperti menari-nari di kamarku, dibeberapa hari kumemilih untuk mengurung diri dari celoteh-celoteh rumah ini.

Ada sangat banyak yang pernah kulalui diluar sana, Bu.

Mungkin kau pun sadari, sekarang anakmu ini mulai cerewet, sok tahu, suka protes, sok benar.

Iya kan, Bu?

Ah, Bu. Dunia diluar sana sangat kejam.

Jikalau kautahu, mungkin tak sekejam yang pernah kaurasakan ketika juga pernah hidup diatas tanah kota itu, dulu sekali.

Dia lebih kejam, Bu.

Bahkan mungkin pernah mengiris-iris hati dan isi perut anakmu ini. Kekejamannya pernah menjadikan beberapa tangis dengan terpaksa disimpannya dalam senyum-senyum sok tegar. Menyimpannya dibalik beberapa hambar. Pernah pula menjadikan kedua kaki anakmu ini tak bisa diam, gelisah, Bu.

Ah, Bu.

Menuliskan ini, sebenarnya anakmu ini rindu. 
Sangat rindu.

Pada siapa?

Ingin kau tahu, Bu?

Iya, Bu. 

Anakmu ini rindu pada Pemilik Rindu, yang pernah disimpannya dalam saku hening.

Sangat rindu pada waktu tidur panjang yang mengembalikan pulang pada-Nya.


Pinrang, 10 Juli 2014