“Bahkan
bahagia juga bisa hadir dalam senyap.”
Bagi sebahagian besar
manusia, bahagia adalah sebuah yang didapati pada senyum-senyum, kabar-kabar
baik, impian yang terwujud, tentang rasa, dan apapun yang menjadikannya melekat
dalam ingatan.
Termasuk yang pernah
mengatakan bahwa bahagia juga bisa hadir dalam senyap.
Bahagia?
Adakah yang bisa
mendefinisikan bahagia menyerupa apa?
Apakah sepenuhnya
bahagia adalah ketika engkau mendapatkan apa yang telah lama kauimpikan?
Yang kauinginkan?
Jika betul adanya
seperti itu, pernahkah kaumerasa bahagia, ketika kegagalan-kegagalan saling
berebut menghimpitmu?
Apakah bahagia adalah
ketika semua hal yang kauinginkan berjalan sesuai dengan harap-harapmu? Seperti
yang kau inginkan?
Jika betul adanya
seperti itu, pernahkah kaumerasa bahagia, ketika ketidaksesuaian inginmu akhirnya
datang sekenanya tanpa kauminta?
Apakah bahagia adalah
ketika semua hal-hal perih yang pernah kauinjak untuk menghilang, tetapi
semuanya tetap berkeras tak payah?
Apakah bahagia adalah
ketika semua hal-hal membuatmu tersenyum manis dan wajah-wajah yang kaudapati
berbalik semringah?
Bahagia.
Kepadamu, yang selama
ini terus-menerus mencari bahagia, pada jalan-jalan becek, kumuh-kumuh rumah,
kebisingan kota, kepenatan tubuh, angan-angan, hiruk pikuk hedonis, helaian
udara, atau pun pada sunyi-sunyi.
Kabari, kabariku ketika
bahagia tak pernah datang dari dirimu sendiri.
Kabariku, ketika
bahagia hanya kautemukan di luar, bersama manusia-manusia lain.
Ah, apakah tak pernah
kaupikir bahwa bahagia ada adalam dirimu sendiri, tanpa perlu kaucari?
Seberapa teganya
bahagia seenak jidatnya bisa meninggalkanmu seperti itu?
Bahagia itu
sesungguhnya bisa kaubentuk sendiri.
Campurkan dengan
titik-titik warna yang kausukai.
Warna yang pernah kaucerita
waktu itu. Tentang warna yang selalu membuatmu lupa pada masa lalu.
Peluk.
Peluklah bahagia,
seperti pernah kaumemeluk tubuh-tubuh yang kausayangi, bersama bahagia.
Menjelang penghabisan Ramadhan,
Makassar, 18 Juli 2014