Sabtu, 25 April 2015

Sesungguhnya Kematian Itu Dekat Dik, Sangat Dekat!

“April pekan ini meluruhkan hujan dalam senja. Hari agung yang diberkahi, serta doa-doa yang mengalir tanpa henti. Dan seketika doa-doa itu menemui waktunya, menemui masanya.” 

Senja pada pertemuan-pertemuan hari ini, sempat mempertemukan wajah-wajah dalam gedung-gedung. Ada berbagai macam ekspresi. Senang, sedih, gelisah. Menyatu pada tembok-tembok ruangan, kelas, koridor.

Siang tadi, pesan singkatmu masuk. Baiklah, kita akan bertemu lagi (setelah kali terakhir bertemu jumat lalu), sore nanti. Mungkin akan ada lagi perbincangan hangat dan cerita lucumu yang bisa kunikmati hari ini, pikirku.

Padahal, ketika waktu menyorot ke belakang, hanya ada hitungan bulan-bulan kita saling mengenal. Bukan tahun.

Ya. Dan ternyata takdir sungguh sangat tegas menghampiri waktumu, Dik.

Sore tadi, ketika masih ingin menahanmu lebih lama untuk banyak bercerita, gelisahmu sungguh sangat nampak. Juga semakin memucatkan warna disisi-sisi bibirmu. Ada sesuatu yang membuatmu gelisah, Dik.

Dan firasat ternyata bukan menjadi hal yang bisa mencegahmu.

“Saya buru-buru, Kak. Ada amanah yang menunggu. Padahal rasanya masih rindu dengan Kakak. ” Katamu, sambil menjabat tanganku dan memeluk tubuh kurusku. Erat. Erat sekali.

“Senin depan kita ketemu lagi ya, Kak. Saya mau banyak tahu tentang FLP.”

Ah, setiap bertemu, barisan pena itu yang selalu kau tanyakan. Itu inginmu, yang sudah sejak dua tahun kau impikan, bisa bergabung bersama dikeluarga barisan pena. Mencipta karya-karya sastra. Bahkan pun, inginku membaca puisi-puisi yang pernah kau buat dan kau ceritakan, ternyata pula tidak bisa menemui masanya.

Itu inginmu sejak dua tahun lalu. Bahkan mungkin, sejak segan itu ada saat kata-kata dan senyum perkenalan yang sudah lama ingin kau lontarkan pada sikapku yang dingin.

“Wah, ternyata kalau sudah kenal, kakak beda ya? Dulu waktu belum kenal, kakak kelihatannya cuek dan jutek dengan saya.”

Jumat lalu kau berceloteh seperti itu, dan kujelaskan pula dengan banyak tawa. Kita sama-sama tertawa menengahi sikapku yang tidak sepenuhnya seperti kau katakan.

Dan harapan untuk bisa bercerita lebih banyak lagi disenja tadi, pupus sudah. Dan takdir telah benar-benar menjemputmu diujung Jumat ini.

Namun  hanya bisa menjanjikan waktu untuk bertemu lagi dirabu depan.
” Sekalian mengurus tetek bengek tugas akhir kampus.” Ujarku.
 Iya, dan kau mengiyakan. Tapi ada ragu yang kulihat.
“Nanti dikabari lagi ya, Kak. Kakak semangat, harus lulus tahun ini!” ucapmu yang selalu disertai senyuman manis.

Mendapat semangat ditengah-tengah kepenatan dalam berhadapan tugas akhir, serasa seperti ada yang menegukkan air di sela-sela kejenuhan.

Dan deras hujan membungkus malam ini, membawa kabarmu padaku, Dik. Kabar yang tidak pernah disangka akan mendatangi. Kabar yang dirasa akan banyak menguras buliran air dari mata siapa pun yang mengenalmu. Terkecuali mata kakakmu ini.

Innalillahi Wainna Ilaihi Rojiun….

Dan dedaunan catatan dalam Lauh Mahfudz telah gugur. 

Semoga Jannah yang kau raih, Dik Suryaningsih (Si Perindu).

Lafadz doa dikirimkan untukmu.



 Dalam pelukan duka,

Makassar, 24 April 2015.

Rabu, 15 April 2015

Monolog Rindu 10: Maple

Mengejar mimpi, tak semudah kau memimpikan dan memunculkannnya dalam batok kepala dan sugestimu. Mengejar mimpi, sama saja mendapati kejutan-kejutan yang beberapa diantaranya bisa saja menyakitkan langkahmu.”



“Bunuh saja mimpi itu, lalu kuburkan dalam-dalam. Jika sama sekali tidak ada usaha yang kau segerakan.”

Menusuk sekali. Bukankah itu dulu yang pernah kau lontarkan, ketika harapan-harapan itu telah pupus dan putus asa itu diam-diam datang dengan seringainya?

Ternyata bukan. Bukan lagi erangan seperti itu yang menjadikan lecutan semangat itu kembali bangun. Iya. Bukan lagi.

Lantas?

Ada yang mesti saya raih. Ah, saya? Bukan kita lagi?

Bukan.

Baiklah. Segala mimpi dan impian yang dulu, dulu pernah ditunaskan saat itu. Saat ini bukan lagi mimpi yang mesti menjadi harapan-harapan yang harus ada dalam tujuan hidup.

Bukan lagi.

Ya, meskipun banyak yang mengatakan, bahwa ketika kamu memiliki harapan dan impian, sama saja kau memiliki tujuan hidup. Tidak mengalir seperti biasanya.

Pahamilah. Ada yang masih mesti saya raih sebelumnya.

Sebelum mengejar impian memijakkan kaki di ranah maple bermusim.

Raih?

Apa itu?

Ini tentang sebuah kelokan yang tidak disangka-sangka, tepatnya.

Ini tentang mimpi yang dulu, dulu sekali.

Dan atmosfirnya mulai kembali berkelabat ketika semua yang kita sebut mimpi, impian, mulai bercahaya satu per satu.

Pahami.

Sebab meraih itu, adalah mencapai segala-galanya, tanpa sesal, tanpa keluh, namun mengabadi.

Ingin kau tahu?

Iya.

Rindu itu.

Rindu kembali pada pelukan-Nya.

Rindu yang mesti segera dituntaskan.

Menjelang petang,

Makassar, April 2015

Senin, 13 April 2015

Monolog Rindu 9: Kekanak


Mungkin, saat ini kita telah lelah, pada derap-derap  harap yang dibuai waktu.

Mungkin, kita telah jengah pada jiwa-jiwa kita, yang dulu pernah hanya banyak bicara.

Mungkin, pula, pernah ada kisah-kisah yang telah kita lewatkan, seiring keraguan-keraguan yang dulu, dan selalu saja berusaha kita pahami bersama.
….

Ketika bulan-bulan penghujan saat itu datang berbaris-baris.

Ditangan-tangan hujan yang basah, sekali waktu ada potongan gerak yang menunjukkan tawa-tawa pada rerintik.

Dari bujukan dalam rumah, payung warna-warni yang mengembang, punggung yang menjauh dari riuh hujan, pundak tegap, wibawa kebapakan, dan penerimaan dekapan perempuan yang hangat dilapisi handuk lembut.

Dulu, pada penerimaan-penerimaan riang bersama angin dan hujan, pernah ada deretan-deretan mimpi dan harap-harap yang berubah-ubah.

Dulu, dari setiap rengekan-rengekan, selalu ada tumpukan-tumpukan ingin, yang dalam durasinya menunggu ditemui pada masanya.

Dulu, dari ratap-ratap yang bersusun pada jelang lelap, elusan-elusan doa mengalir melalui ubun-ubun kecil yang bertaut selimut.

Sedang pada waktunya yang saat ini telah mendewasa, menatap apa yang menjadi sangsi, adalah selesapan ragu pada langkah-langkahnya yang terlalu jauh menapak. Terlalu jauh menghindar.

Menemui pesan ibu, sesungguhnya hidup adalah tak mudah, hidup adalah menerima, hidup adalah memberi, hidup adalah semua yang dicecap, walau tak suka.

Ketika jarak disuatu waktu mengiris rindu,  

Tatapi tumpukan-tumpukan waktu yang pernah memberi ruang, untuk hadir dalam kasih dan kasih.


Sebab mendewasa adalah niscaya,

Makassar, Pebruari-April 2015


Jumat, 10 April 2015

Ini Harimu, Dik!

“Mesti. Dan akan selalu ada impian yang kita semogakan. Bahkan dalam sisa-sisa usia yang tidak terbilang.”

Mengenalmu, telah menjadikan mimpi-mimpi yang pernah tertanam, memulai mengecambah.

Setelah tahunan terlewati dan putus asa itu pernah mendekati.

Mengenalmu, mungkin adalah takdir yang telah disusun-Nya dengan apik, dalam bingkai persaudaraan.

Ini harimu, Adik.

Saat usia yang terlewati, menunjukkan langkah-langkahmu yang kian panjang dan jauh.

Dua puluh dua tahun yang terlewati.

Rahma Hidayah Shaliha…

Semoga doa-doa keshalihan dirimu tetap melekat dibalik namamu. Dan menjadi sebaik-baik perhiasan dunia.

Adik yang begitu antusias mengejar mimpi, bahkan masih pada saat-saat mengeja mimpi dalam rangkak.

Adik yang harapnya begitu luas.

Tentang mimpi-mimpi(ku) yang sekarang juga menjadi mimpi-mimpi (kita), tetaplah seperti itu,Dik.

Tetaplah rawat harapan-harapanmu dalam genggaman Yang Maha Kasih.

Tetaplah menjadi perempuan yang selalu banyak belajar dan mendewasa.

Ini harimu, Adik.

Ada banyak doa-doa indah untukmu, yang disemogakan hari ini. Dan telah direngkuh-Nya kuat-kuat.

Sepenuh Cinta
Makassar, 5 April 2015



Barakallah. Sanah Helwah. Gute zum Geburtstag. Yaumul Milad. Adinda Sholehah-ku sayang! :*