Jumat, 30 Desember 2011

Putih



Oleh : Dewitiani AR



Aku turut duduk disampingnya. Menemani menikmati suasana sore hampir senja di taman ini. Rambut panjang ikalnya yang berwarna putih pucat, sedikit melambai karena tiupan angin. Kulihat sedari tadi seikat mawar putih masih dipelukannya. Hanya bergeming dengan tetesan airmatanya yang cukup deras. Kelopak mata setengah menutupi iris matanya yang biru, tampak memerah. Dey, gadis kecil albino-ku, mungkin saat ini masih berduka.

Tiba-tiba seorang perempuan, yang kira-kira seumuran dengannya, muncul dihadapannya. Memberinya sebuah senyuman. Namun ia tetap diam, seakan tidak sadar bahwa seseorang telah menemuinya.

Kemudian perempuan itu duduk di samping kiri Dey. Kami bertiga pun terdiam dibangku taman ini.

Selang beberapa menit suasana hening, perempuan itu pun menepuk pundak sebelah kiri Dey. Seakan ada sesuatu yang ingin disampaikannya. Dey cukup terkejut. Ia baru sadar kalau ada seseorang yang duduk di sampingnya sejak beberapa menit yang lalu. Perempuan itu pun tersenyum, dan menyampaikan sesuatu. Tapi melalui bahasa isyarat. Ternyata ia seorang tunawicara.

“ Apa yang kamu katakan? Aku tidak mengerti.” kening Dey berkerut dan cukup bingung. Ia sama sekali tidak paham dengan bahasa isyarat yang digunakan perempuan itu. Dengan sigap, perempuan itu mengeluarkan sebuah buku catatan kecil dari tasnya. Kemudian menuliskan sesuatu.

“ Hai, maaf kalo aku mengganggu lamunanmu. Daritadi kamu sendiri ya? Kenapa kamu hanya banyak membuang-buang  waktu saja di taman ini?”

“ Loh? Kamu itu yang siapa?! Apa urusan kamu kalau aku lebih suka melamun disini menghabiskan waktu sendiri?” Dey membalasnya dengan cukup ketus.

“ Aku tahu, saat ini kamu sedang bersedih. Tapi haruskah kita terlalu berlarut dalam kesedihan? Hingga tidak memikirkan segala sesuatu untuk diri kita sendiri? Kenapa semuanya harus disesali terlalu dalam, jika kita dapat berusaha mengubahnya menjadi yang lebih baik?” nampak wajah Dey berpikir.

Perempuan itu pun kembali tersenyum. Sambil mengusap pundak Dey, mungkin bermaksud untuk menguatkan.

Dey kemudian menuliskan lagi sesuatu.

Beberapa menit kulihat mereka saling bercakap melalui buku catatan kecil itu.

Aku mulai cukup lega melihat Dey akhirnya membuka suara. Perempuan itu terlihat kembali menuliskan sesuatu. “ Kalau kamu masih merasa gundah dan butuh seseorang untuk berbagi cerita, aku bisa menemanimu. Kamu bisa datang di taman ini kapan saja kamu suka. Insya Allah, semua keluh kesahmu akan kudengarkan. Hubungi saja nomor handphone-ku saat kamu ingin bertemu. Oh iya, hari mulai beranjak senja. Pulanglah. Karena masih ada seseorang yang menunggumu di rumah. Jangan sampai ia mencemaskanmu.”

Setelah membacanya, sudut bibir Dey tertarik keatas. Matanya ikut tersenyum. Ia mengangguk perlahan.

Seikat bunga mawar putih, yang daritadi berada dipangkuannya, diletakkan di bangku taman ini. Dey akhirnya pergi meninggalkan taman ini, bersama teman barunya.

Senja pun datang dengan cahaya jingganya yang menyambut malam.

Aku masih duduk disini terdiam. Kemudian tersenyum melihat seikat mawar putih Dey.

***



Hari ini kembali kutemani Dey menikmati suasana sore. Tentunya di tempat yang sama, taman kota. Namun ada sesuatu yang baru dengan penampilannya. Ia terlihat sangat cantik dengan setelan tunik dan rok biru mudanya. Ditambah dengan kerudung putih yang menjulur hingga ke dada, menutupi rambut panjangnya yang ikal berwarna putih pucat. Sangat berbeda dengan gaya tomboinya yang dulu.

Di bangku taman ini, ia tampak menunggu seseorang. Mungkin teman baru yang dikenalnya tiga hari yang lalu, saat masih merasa sangat kehilangan dan berduka. Sore ini ia terlihat sangat berbeda. Raut mukanya menggambarkan ketenangan, sedihnya telah surut, dan senyum pun tidak lepas dari bibir kecilnya.

Kulihat lagi ia membawa  mawar putih. Tapi hanya setangkai. Berbeda saat ia datang pertama kali dengan seikat mawar putih. Aku cukup heran melihatnya.

Sore mulai dihiasi awan mendung. Kulihat Dey yang belum juga beranjak dari tempat duduknya. Ia mulai gelisah dan beberapa kali memencet tombol handphone-nya. Tapi tidak ada balasan dari yang ditujunya.

Beberapa menit kemudian seorang bapak, berkumis dan bertubuh agak tambun, datang menghampirinya agak tergesa-gesa.

“ Permisi neng,tadi saya di telepon bapak, untuk menjemput neng. Katanya neng harus pulang untuk menemani bapak ke yayasan.”

“ Apa? Ke yayasan? Untuk apa?”

“ Katanya ada acara disana, dan keluarga pemilik yayasan harus hadir.”

Seketika Dey terlihat bimbang, antara memilih tetap menunggu atau pergi bersama sopir keluarganya. Keningnya pun berkerut, sambil menggigit bibir bawah.

“ Ayolah neng, lagipula hari juga hampir maghrib ditambah gerimis. Jangan sampai neng sakit karena kehujanan.” wajahnya sedikit cemas.

“ Hmm.. iya deh pak, saya pulang.”

Dey langsung pergi meninggalkan taman ini. Sambil masih memegang setangkai mawar putihnya. Dengan berlari-lari kecil, ia menuju ke Innova hitam yang menjemputnya.

Petang perlahan beranjak ditemani rinai. Angin juga masih berhembus membelaiku. Kubiarkan Dey pergi, karena akan kutemuinya dalam mimpi malam ini.



***



“ Kamu?! Jadi selama ini kamu pura-pura bisu?”  Dey menunjuknya dengan tatapan bingung, heran, bahkan mungkin bercampur kesal.

“ Maaf Dey, kalau aku berpura-pura bisu sama kamu. Aku  terpaksa melakukannya. Karena menurutku itu adalah salah cara untuk menarik perhatianmu. Jangan takut, aku tidak pernah sedikit pun bermaksud jahat. Karena sebelum meninggal, almarhumah ibumu yang mengamanahkan aku  untuk menemanimu di taman beberapa hari yang lalu. Tidak ada maksud jahat, selain niat untuk menghiburmu.” dengan wajah cemas, Ninah mencoba menjelaskan semuanya pada Dey. Agar tidak ada kesalahpahaman.

Tapi Dey tidak bisa menerima hal itu terjadi. Ia pulang dengan kegundahannya.



***



“ Ibu ? Kenapa ibu pergi secepat ini? Apa ibu kecewa dengan kesalahnku yang kemarin? Ibu marah, karena aku sangat nakal?” pertanyaan-pertanyaan Dey membuatku tersenyum. Kubelai kepalanya, yang berkerudung, sembari berbaring dipangkuanku.

“ Bukan begitu sayang, ibu tidak pernah marah padamu, bahkan kecewa. Semua ini ada hikmahnya. Allah memanggil ibu dengan secepat ini, karena Ia menyayangi kamu. Ia ingin kalau kamu masih tetap mengingat-Nya, ketika ibu tidak bisa lagi menemanimu. Tolong hargai Ninah dan anggap ia sebagai saudaramu sendiri yang dapat menemani dalam suka dan duka.”

“ Iya bu..” ……

 

Kulihat senyum kerinduan dalam lelapnya. Mawar putih itu masih tergenggam oleh tangannya.

Dey, selamat tinggal Nak. Jangan lupa pada-Nya, dan jaga dirimu baik-baik.















VAA Makassar, 1 - 2 Desember 2011

                 




Jumat, 25 November 2011

Alhamdulillah, Opiniku layak muat di salah satu koran lokal kota Makassar ( Tribun Timur, 23 November 2011 )

Peran Guru dan Mutualisasi Pendidikan di Indonesia

Oleh :  Ismi Kurnia Dewi Istiani

Guruku tersayang, guruku tercinta, tanpamu apa jadinya aku.
Tak bisa baca tulis, mengerti banyak hal. Guruku terima kasihku...
Sepotong bait lagu tentang guru. Menyanyikan lagu ini, serta merta saya sebagai mahasiswa yang tentunya pernah menjadi siswa, kembali merasakan eforia masa-masa sekolah. Pun, ketika kata ‘guru’ disebutkan, teringat kisah-kisah inspiratif yang menjadikan guru sebagai salah satu pemerannya.
Beberapa novel best seller Indonesia, seperti Laskar Pelangi, Sang Pemimpi dan Negeri 5 Menara, banyak mendeskripsikan tentang peran dan kemuliaan serta keistimewaan guru dalam mendidik para siswanya.
Andrea Hirata mengemas kedua novelnya (Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi) dengan sangat menarik dan menggugah. Keistimewaan Bu Muslimah, gurunya sewaktu masih duduk di SD Muhammadiyah Gantong desa terpencil di Bangka Belitung, sebagai tokoh inspiratornya dalam novel Laskar Pelangi tergambar jelas saat belajar di sekolah dengan segala keterbatasan yang mampu menanamkan moral dan akhlak baik dalam pesan Amar ma’ruf nahi munkar. Begitu juga tokoh Pak Balia dalam novel Sang Pemimpi yang menjadi motivator dan penyemangat hidupnya ketika sekolah di SMA Manggar, dalam menggengam mimpi-mimpi menginjakkan kaki dan mencari ilmu di ranah Eropa bersama Arai. Tak kalah menariknya kisah Ahmad Fuadi di Pondok Madani Gontor, menceritakan keunikan-keunikan metode mengajar para ustad dan kiai yang telah menumbuhkan ‘Mantera sakti’ Man jadda Wajada di relung pemikiran para santri.

Potret buram pendidikan di Indonesia
Bagaimana peran mereka sebagai “aktor” utama peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia saat ini? Bukan hanya memiliki peran sebagai subjek yang mentransfer ilmu kepada para siswanya, tetapi juga membentuk manusia unggul yang dapat berperan dalam pembangunan bangsa. Namun dalam realitasnya, terlalu banyak problematika yang dihadapi guru dan unsur lain dalam dunia pendidikan.
Salah satu contoh, Ujian Nasional (UN) di setiap tingkatan sekolah, hinga saat ini masih dianggap menjadi problem di dunia pendidikan. Skandal kecurangan dalam pelaksanaan (UN), hingga pemberian ‘kunci jawaban’ yang terjadi secara turun-temurun dan notebenenya dilakukan oleh sebagian oknum guru. Tak ayal fenomena tersebut yang menjadikan citra guru di Indonesia menjadi ‘buram’ yang disebabkan oleh sistem pendidikan di Indonesia sendiri .
Hal ini menunjukkan, bahwa sistem pendidikan di Indonesia yang juga harus ‘direkonstruksi’. Sebab ada beberapa aspek, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik yang harus dicapai dalam pendidikan.  Bukan hanya aspek kognitif saja yang diutamakan di tingkat sekolah yang mengutamakan hasil ujian akhir, tetapi juga mempertimbangkan upaya dan proses yang terjadi selama menduduki bangku sekolah. Karena kesuksesan anak didik tidak hanya ditentukan oleh aspek kognitif saja.
Tak heran, jika kecurangan dalam UN lumrah terjadi disetiap tahunnya.

Profesionalisasi melalui program Sertifikasi
Sebagai wujud komitmen pemerintah dalam peningkatan mutu pendidikan di Indonesia, SBY telah mereformasi dunia pendidikan yang mendeklarasikan guru sebagai profesi pada tahun 2004. Melalui Permendiknas Nomor 18 tahun 2007 tentang sertifikasi bagi guru dalam jabatan melalui jalur portofolio dan dengan Permendiknas Nomor 40 tahun 2007 tentang sertifikasi untuk guru dalam jabatan melalui jalur pendidikan, diharapkan guru mampu mengambil peran dalam peningkatan mutu pendidikan.
Tapi, dalam realisasi kebijakan-kebijakan tersebut kurang berpengaruh bagi para guru yang mengajar dan tinggal di daerah terpencil. Bahkan untuk mencapai standarisasi pendidikan nasional pun dirasa sangat berat, terlebih jika profesionalisasi guru yang diharapkan melalui kebijakan-kebijakan ini. Menurut data survei sosial ekonomi nasional (Sunsenas) 2006, di Kabupaten Maluku Tenggara, misalnya, masih kekurangan guru bidang studi ilmu pasti, seperti matematika, fisika, dan kimia. Akibatnya, banyak guru yang harus bekerja ekstra keras dan ‘merangkap’ mata pelajaran yang diajarkan, agar anak didik mendapatkan nilai bagus dan lulus bangku sekolah dengan baik. Namun, nilai lebih apa yang didapatkan para murid yang diajar oleh guru yang tidak berkompeten di mata pelajaran tersebut ? Sungguh sangat menyedihkan.
Profesionalisasi melalui program sertifikasi ini kiranya perlu dirombak agar tidak hanya menghabiskan anggaran pendidikan semata, karena pemerataan penyaluran anggaran setiap sekolah-sekolah dan perhatian guru di daerah terpencil juga harus diperhatikan.
Tidak jauh berbeda di Kabupaten Sangihe (kabupaten yang terletak di wilayah paling utara Indonesia dan berada pada tapal batas RI-Filipina) yang kekurangan sekitar 1.036 guru. Kekurangan terbanyak di tingkat SD yang mencapai 536 guru, SMP kurang 253 guru, dan SMA kurang 247 guru. Bahkan di Kecamatan Marore, sebuah SD hanya memiliki tiga orang guru, termasuk kepala sekolah. Keadaan ini tidak jauh berbeda dengan keadaan SD Muhammadiyahnya Laskar Pelangi tempo dulu. 
Bukan hanya itu, kesejahteraan para guru yang mengabdi di daerah-daerah terpencil, juga perlu diperhatikan kesejahteraannya. Seyogyanya mereka pun dapat menikmati manisnya tunjangan profesi dari program sertifikasi guru.

Merekonstruksi peran idealisasi guru sebagai peningkatan mutu pendidikan di Indonesia
Dari sekian banyak profesi yang lebih manusiawi, hanya gurulah salah satu profesi yang membentuk manusia secara utuh. Lebih tepatnya, memanusiakan manusia (humanisasi). Tentunya dengan budi pekerti luhur dan etikat baik. Tidak hanya membentuk peserta didik, tetapi diri mereka sendiri (guru) juga yang harus disesuaikan dengan peran dalam mutualisasi pendidikan. Dalam hal ini, guru hanya tidak semata sebagai pengajar yang melakukan “transfer ilmu”, tetapi juga berperan sebagai pendidik dalam profesinya. Karena budi pekerti, kejujuran, profesionalitas, dan citra baik yang semestinya ada di setiap jiwa guru.
Dalam mencapai peran idealisasi tersebut, perlu menyempurnakan dan menyeimbangakan spiritual quotient (SQ) selain bentuk kecerdasan lain IQ dan EQ. Agar sifat integritas dan kredibilitas dapat tercipta bagi setiap pribadi guru dan anak didik yang beraklak mulia, fatanah, jujur, dan bertakwa.
Oleh karena itu, pendidikan selayaknya berjalan sesuai dengan metode Ki Hajar Dewantara, dengan sistem among yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah, dan asuh. Metode ini secara teknik pengajaran meliputi ‘kepala, hati, dan panca indera’ (educate the head, the heart, and the hand).
Inilah esensi guru yang sesungguhnya. Menjadi seorang yang tidak hanya sebagai pengajar, tetapi juga sebagai pendidik. Seperti Dalam konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara ada dua hal yang harus dibedakan yaitu sistem “pengajaran” dan “pendidikan” yang harus bersinergis satu sama lain.  Pengajaran bersifat memerdekakan manusia dari aspek hidup lahiriah (kemiskinan dan kebodohan). Sedangkan pendidikan lebih memerdekakan manusia dari aspek hidup batin (otonomi berpikir dan mengambil keputusan, martabat, mentalitas demokratik).
Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Insan yang tentunya menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa, walaupun tanpa pamrih.







            Nuun Wal Qalamii Wamaa Yasthuruun….
            ( Demi pena, dan segala yang dituliskannya)

-          Untuk memperingati Hari Guru Nasional, 25 November 2011

Kamis, 24 November 2011

Alhamdulillahirobbil alamin…..
Tak henti lidah ini berucap syukur pada-Mu atas apa yang Engkau telah tunjukkan selama ini.
Doaku  selama ini telah Kau ijabah..
Dan sangat ku yakin dengan hal itu, karena Engkau begitu dekat melebihi urat leherku.
Ya Robb……
Tuhan semesta alam..
Yang mampu membolak-balikkan hati seseorang..
Andaikan semua kegembiraan ini mampu kutuliskan, semua yang telah ada dan terjadi akan kuabadikan dalam memoar ingatanku.
Engkau yang selama ini tahu tentang isi hatiku…..
Yang dulu mengaguminya..
Namun kini  bersikap dingin terhadapnya..
Tak acuh dengan perasaan hatinya..
Memberi kediaman terhadap semua pernyataannya..
Ya Robb….
Terima kasih Engkau telah menunjukkan kebenaran-Mu..
Dia sungguh, tak pantas untukku..
Ya Robb…
Kini ia perlahan telah pergi dengan sendirinya, sesuka hatinya..
Dan akupun tersenyum, walau terasa sedikit pahit..
Ya Robb..
Saat ini telah ku temukan esensi cinta-Mu yang sesungguhnya.
Telah ku tahu jejak-jejak kasih sayang-Mu yang selama ini rabun oleh mataku..
Maka saat ini ku mohon belas kasih disetiap relung hidupku,  dengan kerendahan hatiku, kekerdilan diriku di hadapan-Mu, dan dengan kehinaan atas dosa - dosaku..
















Dalam kebahagiaanku,
20 Nopember 2011


Villa Anugrah Ananda , A9 Makassar

Sabtu, 05 November 2011



Bismillaahirohmaanirrohim…..
Didalam segala nikmat-Nya.
Atas nama cinta-Nya yang paling indah, nan agung dan abadi.
Di tempat kekuasaan ciptaan-Nya, diri ini telah merenung, memikirkan, dan meresapi.
Pada semua yang telah ada dan terjadi.
Teruntuk semua orang yang telah hadir dalam hidupku,
menemani hari-hariku,
mengisi keceriaan,
tawa,
sukaku,
membelai perasaanku,
meredam amarah,
emosi,
sedihku,
dan menemani diamku….
Hanya kata ‘maaf’ yang mampu kuucapkan melalui pagi dan disetiap desauan nafas ini.
Kata sederhana pada sisa-sisa sekuel dalam hidup.
Mungkin harus kuungkapkan tentang segala sikap dan rasa.
Pada mereka yang telah datang dan pergi dalam kehidupanku.
Yang berusaha menemani,
mengisi kekosongan,
berbagi cerita,
mengalami ‘rasa’…
Tentang rasa itu….
Hanya kediaman yang mampu kutunjukkan.
Menjauhlah!
Karena aku tidak ingin tampak lebih hina di mata penciptaku, dengan dosa itu ! 
Tidakkah engkau tahu, akibat dosa yang selalu hadir dan menemani 'rasa' yang belum halal itu ?!
Semua bisa nampak indah, namun semu..
Palsu..
Karena aku ingin menjaga hati, izzah, dan jiwa ini tetap suci dengan prinsip teguh dalam hidupku.
Bukan berada pada kesia-siaan..
Hingga kelak suatu saat keindahan itu diberikan pada-Nya, dan tentu halal untukku..


Rabu, 06 Juli 2011

Saat Amarahmu Tiba

Senyumku memudar saat beberapa hari terakhir, hanya diammu yang nampak....

Sesal!

Hanya masalah kecil yang membuatmu begini, Ayah?!

Sikapmu yang dingin, membuat sesalku semakin dalam..

Cercaanmu seketika membuat mentalku jatuh!

Apakah hanya amarah yang membuatmu tidak mau mengerti dengan semua penjelasan-penjelasanku?

Setiap manusia pernah khilaf........

Tapi apakah kamu akan tetap bersikap seperti ini padaku?

Sesungguhnya aku berbeda dengan dirinya..

Hanya sikap kerasmu yang tidak bisa kuterima, Ayah!

...........................................


Selasa, 21 Juni 2011

Hari ini....
Cukup terkejut membaca pesannya di salah satu jejaring sosial itu..
Bercerita tentang keluh kesahnya, kekesalan, kekecewaan, dan semua-semuanya..!
Tentang hubungannya dengan seseorang..
Berakhir dengan keterpurukan!
Perempuan itu lebih memilih yang lain, bukan dirinya..
Yang sungguh sangat berharap bahwa dia akan menjadi miliknya!
Wah, cukup heran jika saya cukup terlibat dalam cerita sedihnya.....
Maaf, hanya sedikit nasihat yang bisa saya berikan, yang bertujuan menghibur hatimu....
Tapi, cukup kecewa dengan tindakannya..
Masa 'penjajakan' yang cukup lama, namun berakhir dengan penolakan...
Walau semua diterimanya dengan keikhlasan 'bersyarat'..
Hmm....
Mungkin dirinya terlalu berharap pada keadaan dan perasaannya selama ini....
Ya, hukum itu pun berlaku pada dirinya..
'Cinta tak harus memiliki'
Wah,wah....


Minggu, 19 Juni 2011

KRIM: Ketika Rasa Itu Menyapa (cerpen)


Terpaan hangat surya membelai lembut wajahku. Agak kupicingkan mata. Silau.
Ah! Dia telah datang kembali. Menemani sang bumi yang telah menua. Memberikan kehidupan difajar ini. Selalu seperti ini, yang kurasakan sejak merasakan kehidupan.
Pagi! Kembali menyambutku setelah merenungi segalanya sejak subuh tadi. Ku raih jam weker di atas meja. Mengamati angka-angka dan jarum jam. Tepat pukul 06.35.
Si surya belumlah terlalu tinggi, tapi cahayanya cukup menyilaukan mataku yang sudah abnormal.
“ Nay, kamu sudah bangun nak?” sapaan lembut ibunda sudah terdengar.
“ Iya bu, tadi Nay ketiduran habis tilawah. Ibu belum berangkat? ” aku keheranan melihat ibu yang masih ada di dapur jam segini.
“ Iya nak, tadi masih ada kerjaan di sekolahan yang harus ibu selesaikan. Masih lanjutan kerjaan ibu yang tadi malam. Semalam ibu ketiduran karena kecapekan.”
“ Oh, jadi ibu berangkat pukul berapa?” sambil berjalan ke meja makan, ku buka inbox handphoneku.

“ Nay, tolong datang ke kampus pukul 10. Ada hal penting yang harus kita bicarakan.”
_Puput

Puput? Ada apa ya? Tumben-tumbennya dia kirim SMS sepagi ini. Sepenting apakah, hal yang  harus ia bicarkan? Kenapa tidak dibicarakan lewat telepon saja? Biasanya dia langsung telepon saja.
“ Hmm..” langkahku terhenti sejenak. Mendesah.
“ Nay.. Nay ? Hei…. Kamu kenapa? Masih pagi sudah melamun. Kamu berangkat ke kampus pukul berapa?”
“ Eh, oh, iya bu.. hari ini kuliahku mulai pukul satu siang. Tapi tadi ada SMS dari Puput ,  ada hal penting yang harus dia bicarain. Katanya, pukul 10 aku sudah harus dikampus.”
“ Oh.. ya sudah, ibu siap – siap mau berangkat ngajar dulu. Kamu kalau mau berangkat, jangan lupa sarapan ya! Ini, ibu sudah siapkan.”
“ Iya bu..”

***


Kampus Ungu……

“ Puput, sekarang aku udah di kampus. Aku tunggu di bawah pohon yahh, depan gedung Dh.”
_Nay

“ Assalamu’alaikum..!” salam itu, ternyata Puput.
“ Wa’alaikum salam.. kamu darimana saja sih? Hampir setengah jam aku nunggu kamu disini. Memangnya ada hal penting apa yang harus kamu bicarain? Tumben-tumbennya kamu gak langsung…” ocehanku tiba-tiba terhenti. Mulutku tersekap.
“ Aduh, neng Naya.. kalo ngomong pake jeda dong..! Bisakah engkau berbicara padaku dengan perlahan?  Rasanya telinga ini mau pecah mendengar suaramu yang sangat melengking itu..!”
“ Hff..hff… lhe-phash-kan -tha-nghan-mhu..!” masih dengan susah payah ku memohon.
Stop ! Shit up..!” perlahan dekapan telapak tangannya melonggar di mulutku.
“ Oke, oke,.. hff..hff.. huh, dasar kamu ya..!” nafasku masih memacu, mengatur nafas.
“ Hmm.. sekarang kita ke kantin yuk ! disini gak enak ngobrolnya, nanti didengar orang lewat.”  kami menyingkir.

***

Seketika ku terkesiap. Tergugu.  Membatu. Seakan sangat tidak percaya dengan apa yang disaksikan kedua mata ini. Astaghfirullah!!
“ Nay ? Nay ? ...” puput mencoba memastikan mataku masih bisa berkedip.
“ Huh.. kamu itu ya Put, apa maksud kamu ngasih liat aku foto kayak ginian ?” hanya  mendelik melihat mukanya yang seperti ‘menunggu’ sesuatu.
“ Hahhh ?  Nay ? hellooo….?! apa aku tidak salah dengar ? hey.. kamu tahu kan, wajah-wajah ini ?” dengan sedikit emosional, tidak percaya dengan perkataanku.
Tubuhku sedikit bergidik. Jantungku memacu. Emosiku hampir pecah.  
Mataku semakin tidak kuat melihat foto-foto itu. Seorang perempuan dan lelaki –yang wajahnya sangat tidak asing dan sangat kukenal – saling bertatap tanpa ada pembatas di antara keduanya. Ditambah dengan foto – si perempuan –  berpakaian mini, nyaris ‘memamerkan’ seluruh kemolekan tubuhnya yang cukup seksi, dan tentunya ditemani dengan pasangannya.
“ Apakah kamu mau membiarkan hal ini terjadi lebih jauh?  Kamu mau dia yang dulunya sahabatmu, sekarang sikapnya menjadi tidak keruan seperti ini  ? Sedangkan kamu sendiri bisa mencegah hal itu terjadi ?” tidak disangka, dia kembali mencecarku.
Saat itu juga, aku tidak bisa berkelit. Semua foto yang ditunjukkan puput – melalui jejaring sosial – membuatku sangat shock. Lidahku kelu.
“ Nay, aku tahu bagaimana keadaan dan posisi kamu saat itu. Aku juga tahu bagaimana perasaan kamu saat itu. Saat masih menganggapnya sebagai seorang sahabat, atau bahkan lebih bagi kamu. Tapi toh, selama ini kamu hanya mau melihatnya dari luar saja, bukan dari dalam. Dan firasatku selama ini benar ! dia tidak baik untukmu. ”
“ Tapi put, apa hubungannya denganku ?  dia denganku tidak ada apa-apa lagi ! bahkan semua tentang dia, sudah kulupakan hingga saat ini..!” emosiku tertahan. Tercekat.
“ Nay.. iya, aku tahu sekarang ini kamu sudah berusaha melupakan dia. Tapi dari air mukamu yang tadi tampak, yang menggambarkan perasaanmu saat ini. ”
Aku masih terdiam.
“ Nay.. sebagai saudara seiman, masih adakah secuil rasa iba dengan saudaramu satu ini, yang belum mendapatkan hidayah-Nya ? masih adakah niat dakwah yang ada dalam hatimu untuk tetap berkobar menyampaikannya, walaupun orang itu adalah masa lalumu yang cukup kelam? dan kenapa tali persaudaraan itu harus terputus dengan adanya kenyataan? ”
Pertanyaan-pertanyaanya itu, sentak membuatku terenyuh. Bolamataku memanas. Kupalingkan wajah, setetes air mata  jatuh.
“ Nay..nay..? kamu nggak apa-apa kan?”
Menoleh.
“ Tau’ah..! Jijik saya liatnya !!”
Bergegas kutinggalkan Puput yang masih menunggu reaksiku selanjutnya.
“ Nay..! Nay..! …”
Samar-samar kudengar panggilannya. Tapi tak kuhiraukan. Pergi.
Hembusan udara siang cukup ‘meniup’ perasaanku yang campur aduk tidak keruan.

***

Rinai menemani sore ini. Beberapa saat, hujan dengan derasnya berderai. Sejuk. Namun masih kurasakan sedikit kekesalan dihatiku, efek siang tadi. Sepi, sendiri. Di balik jendela ku tercenung. Meresapi, menikmati euforia ini. Hujan. Masih selalu membuatku bahagia menyambutnya. Tiba-tiba teringat sekuel memoar masa kecilku.
“ Naya…! Ayo kita pulang nak!” seruan Ayah.
Suaranya masih ku ingat jelas. Senyumnya masih melekat erat diingatanku.
“ Iya Ayah, tapi Nay masih mau main dulu. Hujannya kan belum berhenti. Naya baru mau pulang kalo udah reda.” Suara cempreng dan sikap keras kepalaku, tidak membuatnya kesal.
“ Ayolah nak, nanti kamu sakit  kalo terlalu lama main hujan-hujanan. Ibu menunggu di rumah. Jangan sampai Ibu marah ya..!” dengan tersenyum, tubuh mungilku digendongnya. Aku sedikit meronta kegirangan dan tertawa lepas. Masih kulihat jelas  rintik-rintik hujan menerpa payung warna-warni yang dipegangnya. Ku peluk erat lehernya. Perlahan terlihat menjauh, taman tempatku bermain.
Mendesau. Perlahan ku pejamkan mata. Masih menikmati berisik rintik hujan ini. Mulai reda. Entah apa yang selalu kurasakan saat hujan kunjung reda. Selalu merasa kehilangan jika sudah pergi.
Kerinduan. Mungkin itu yang selalu menghiasi setiap hujan yang selalu kunikmati, sejak beberapa tahun yang lalu. Sejak sosok lelaki yang sangat bertanggung jawab dan pendiam itu, pergi meninggalkanku dengan senyumannya setahun lalu. Pergi dari semua hiruk-pikuk dunia ini. Saat kutumpahkan segala kekesalanku pada cerita-cerita yang telah kulalui. 
Ayah. Semua dan semuanya tentangmu, masih kuingat sampai saat ini.
Tersenyum. Karena hanya itu yang bisa kulakukan.
Petang menyambut. Sayup - sayup kumandang adzan maghrib mulai terdengar. Sejenak aku tersadar, kembali pada dunia nyata. Ingatan-ingatan itu masih berkelabat. Tapi rasa bersalah ini masih tetap ada, dan selalu hadir disetiap euforia hujanku. Kenapa?
Masih kupeluk lututku, sembari bersandar di sofa. Setetes airmata jatuh, sesaat masih meresapi panggilan Ilah.

***
Malam kian merangkak. Masih terdengar suara tetes-tetes bekas hujan sore tadi. Jangkrik masih berisik dengan malamnya. Irama detik jam menambah kentalnya kesunyian malam ini.
Dokumen-dokumen lama masih asyik kurombak sejak tadi. Mencari dan terus mencari. Namun belum kudapatkan juga.
Apa yang ada dipikiranku sejak tadi? Apakah masih memikirkan semua hal siang tadi? Hahh..!
Penat menyerang. Sejenak ku rebahkan tubuhku di kursi meja belajar. Serta-merta kulepaskan kacamata, minus dua, yang sejak tadi bertengger di hidungku. Sembari memijit dahi dan kedua pelipis.
Philophobia. Ah! nama itu.
Benarkah aku termasuk orang yang mengalami hal itu? Ataukah hanya sekedar nama ejekan dari Puput? Entah.
Philophobia. Masih menjadi momok bagiku hingga saat ini. Kadang ku tak mengerti jalan pikiran Puput, yang memberikanku nama ejekan demikian.
Penatku sudah mulai berkurang. Tapi nama itu yang masih membuatku terheran sampai saat ini! Philophobia.
Dalam catatan-catatan kecilku sewaktu SMA ,tentang berbagai nama ilmiah, memang tertulis nama itu. Tapi ingatanku tentang nama itu pun masih samar-samar.
Hmm..
Tiba-tiba dering handphoneku mengagetkan disetengah lamunanku.
SMS Puput?

“ Nilai dari kata maaf sungguh luas. Ia turun bagai tetes hujan dari surga. Di bumi tempat jatuhnya, ia membawa berkah ganda. Berkah bagi yang meminta maaf dan berkah bagi yang memberikan maaf. (William Shakespeare)”
_Puput J

     Oh! Ada saja hal-hal tidak terduga yang bisa dilakukan Puput. Yang mampu membuatku tersenyum dan terhibur, walaupun cukup sederhana. Seketika perasaan kesalku melumer dan mulai mencair. Kini tergantikan dengan senyum rekah, sembari membalas pesannya:

“ Terima kasih untuk pesan singkatnya malam ini, saudariku. Karena makna dari kata maaf  itu sangatlah indah, maka tak ada kata pun untuk tidak menerima dan membalasnya dengan sebuah senyuman indah. Hmm.. apakah boleh saya bertanya padamu,  tentang sesuatu di esok hari, saudariku?”

“ Bolehlah, besok siang kita ketemu di kampus ya..!J

“ Oke. Saudariku! Sekarang malam sudah mulai larut. Selamat beristirahat! J

***

Angin yang bertiup disiang ini, terasa lembab. Mendung masih menghias langit. Hingga menit ini ku terduduk di bangku bawah pohon , depan koridor kelas , bersama Puput yang sedari tadi masih menikmati cemilannya yang cukup banyak.
“ Put..” kumulai pembicaraan.
“ Ya..? Kenapa Nay ?” langsung menatapku.
“ Ngg..”
“ Oh iya..!  Semalam kamu mau  nanya sesuatu kan? Mau tanya apa sih?” seketika mulutnya berhenti mengunyah. Keningnya kelihatan berkerut.
“ Hmm.. itu.. tentang Philophobia.” kuberitahukan setengah berbisik. Sambil menatapnya dengan sedikit berharap.
Matanya menyipit. Terkesan menatapku tajam. Ia terdiam sejenak. Ditatap seperti ini, aku pun jadi salah tingkah.
“ Hey, Put! Biarpun saya cuek dengan nama ejekanku selama ini, tapi rasa penasaranku cukup besar, Put. Sebenarnya, apa maksud kamu mengataiku seperti itu ? …” belum selesai pertanyaan-pertanyaan lain kulontarkan, dengan cepat dikeluarkannya selembar kertas catatan dan pulpen dari tasnya. Cemilannya yang masih tersisa, langsung dipindahkan ke pangkuanku. Beberapa detik, ia menulis sesuatu dikertasnya. Masih kuamati gerak-geriknya, masih menunggu apa yang ia lakukan selanjutnya.
“ Nih, kamu baca!” disodorkan padaku, kertas yang sudah ditulisinya tadi.   
Kertasnya kuambil, lalu mengamati deretan huruf tulisannya. Keningku langsung berkerut. Berulang-ulang kubaca kata yang tertulis dikertas yang sedang ku pegang. Letak kacamataku pun kuperbaiki. Sambil menoleh, menatap Puput dengan keheranan. Dia masih asyik menikmati cemilannya.
“ Hahh? Ini maksudnya apa Put?”
Sebuah kata Philophobia yang tertulis, ditambah dengan simbol ≠ dan ‘Cinta’ . Jadi, dibalik kacamataku jelas terlihat : Philophobia ≠ Cinta. Ya! Cukup singkat. Tapi membuatku banyak bertanya-tanya. Kembali ku tatap Puput. Dia menoleh padaku dan tersenyum penuh arti.
“ Kamu bingung dengan maksudnya?” kembali tersenyum.
“ Hmm.. ya jelaslah!” nada bicaraku sedikit meninggi.
“ Oke! Nanti malam kamu datang ke rumahku ya! Nanti kujelaskan semuanya. Aku pulang duluan, banyak urusan. Assalamu’alaikum!”
Belum sempat kudapatkan penjelasan, Puput pun berlalu dengan seenak jidatnya. Yang kulakukan hanya bisa menjawab salamnya, dan belum mengiyakan tawarannya , sambil terus menatapnya yang berlalu pergi agak terburu-buru. Aneh. Sekarang semakin ku dapatkan ketidakjelasan ini.
***

“ Nay, coba kamu baca artikel ini.” disodorkannya beberapa kertas yang berisi tulisan-tulisan. Kuamati setiap deretan huruf yang ku baca saat ini:
Philophobia.. Istilah ini cocok buat orang yang takut jatuh cinta…
…Philophobia termasuk dalam penyakit mental, orang-orang yang mempunyai penyakit ini biasanya pernah mengetahui dan mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan dalam hal percintaan, mereka takut jatuh cinta, karena anggapan mereka tentang jatuh cinta itu adalah hal yang tidak menyenangkan, mungkin juga mereka menganggap itu merugikan…
Seketika ku terbelalak, kedua alisku terangkat. Sangat tidak percaya dengan apa yang telah kubaca.
Philophobia? Separah itukah Puput memberikan julukan seperti ini? Apakah aku memang ‘mengalami’ hal itu? ‘Takut jatuh cinta’ ? Benarkah?
“ Hahahh.. bagaimana? kamu masih penasaran?” dengan garingya, dia menertawakanku. Cukup kesal dengan tingkahnya itu.
“ Hah? Apa maksud kamu Put? Gak lucu tau’! Garing!” kembali kubelalakkan mataku.
“ Hmm.. sudahlah Nay.. Apakah memang kamu tidak merasakan hal itu terjadi sejak dulu, dalam dirimu? Dan kurasa itu tidak salah, jika kamu aku ‘cap’ sebagai orang yang menderita ‘penyakit’ itu. Karena realitanya seperti itu. Selama ini pun aku melihat kamu terkesan ‘mati rasa’ pada setiap perhatian-perhatian kaum adam yang berusaha dekat denganmu. Merespon mereka saja tidak pernah.”
“ Apa? Kamu bilang aku mati rasa?” emosiku hampir tersulut
“ Ngg.. yaa begitulah.. hehehh.. piss dah!” sambil menyengir diacungkan dua jarinya, yang tandanya bermaksud meredam emosiku.
“ Hmm.. Put, kamu masih ingat kan, dengan foto-foto yang kamu perlihatkan kemarin? Izal. Sahabatku sejak kecil. Sejak dulu, aku bersahabat dengannya. Sejak ayahnya meninggal, yang juga teman dekat ayahku, waktu kami masih SD. Karena umurnya hanya terpaut dua tahun diatasku, dia ku anggap sebagai sahabatku, sekaligus kakak kandungku sendiri. Tapi ketika kami duduk di bangku SMA, dia ikut pindah dengan kakek dan neneknya melanjutkan sekolah dan kuliah di Jawa. Semenjak saat itu, memang kami kehilangan komunikasi. Ayahku juga tidak pernah menanyakan tentangnya, karena aku sebagai sahabatnya. Tapi dua tahun yang lalu, aku kembali bertemu dengannya. Namun aku terkejut Put. Saat tahu ternyata dia bertopeng. Dia selalu berlaku baik dihadapanku, tapi nyatanya? Kamu juga sudah lihat sendiri foto-fotonya yang kemarin. Jujur Put, sebenarnya aku punya perasaan lebih padanya, lebih dari perasaan saudara dan sahabat. Tapi ketika dia menyatakan perasaanya padaku dan saat itu aku belum tahu tingkah lakunya seperti itu, Ayahku melarang keras untuk tetap tidak bertemu dan berkomunikasi lagi dengannya. Tapi apa? Aku masih tetap kukuh dengan sifat kerasku, Put. Aku marah pada Ayah, yang semenjak itu membatasi ruang gerakku. Tapi Allah sungguh sangat menyayangi Ayahku. Di balik sifat pendiam dan sabarnya ternyata dia sungguh murka dengan kenakalanku saat itu, hingga akhirnya Sang Pemilik Hidup ini mengambil Ayah dari kami, keluarga yang sangat disayanginya…” perlahan airmataku menetes.
“ Nay..” diusapnya bahuku. Bermaksud menguatkan.
“ Iya Nay, aku tahu kamu cukup muak dengannya sejak saat itu. Tapi apakah kamu masih tetap keras menutup hatimu pada orang lain? Hingga nanti akhirnya tidak akan ada seorang pun yang datang padamu dengan rasa tulusnya?” pertanyaan-pertanyaannya membuatku mendelik.
“ Kamu tahu kan, setiap makhluk yang diciptakan Allah itu berpasang-pasangan? Dan sebelum kita dilahirkan ke dunia ini, nasib, rezeki, jodoh, dan kematian sudah ditentukan semuanya oleh pencipta alam semesta ini. Tapi kenapa aku harus mencarinya, jika dia akan datang sendiri padaku? Yang tentunya itu akan mengikatkan pada hubungan yang sah menurut agama kita. Tanpa mengakibatkan dosa yang sangat besar.  Sebenarnya, Philophobia itu tidak pantas kamu jadikan bahan ejekan untukku, Put. Aku seperti ini bukan karena sebuah trauma mendalam. Tapi aku sudah semakin sadar, bahwa Sang Pemilik Hati inilah yang lebih berhak menentukan segalanya. Karena semua akan terjadi dan akan indah pada waktunya, Put.”
“ Ck,ck,ck.. sungguh, kamu tidak diragukan lagi Nay.”
“ Maksudnya?”
“ Sungguh puitisnya dirimu! Hahahaha…..!” kami kemudian tertawa bersama dengan kerasnya.
“ Oh iya, Nay. Mmm.. ngomong-ngomong ada seseorang nih, yang nitip salam sama kamu.” tiba-tiba dia memotong tawaku.
“ Mm.. Siapa? Jangan bilang ya, kalau orang itu, cowok yang kamu kenalin ke aku kemarin-kemarin!” aku sedikit marah, dengan mata melotot.
“ Ya, Selamat! Anda beruntung! Jangan pernah menyerah untuk mencoba lagi! Hahahahh…!” tergelak tertawa.
“ Ihh.. garing, garing, garing! Oke! Salam balik ya! Salam pertemanan. Hehehh..” Sikutnya yang tajam, kemudian menyenggol lenganku.
“ Shhs.. Pupuuuut! Dasar kamu ya!”
Karena tingkahnya, ia langsung ku kejar dengan senjata ‘bantal’ yang ku pegang tadi. Perang bantal pun tidak terhindarkan, karena membalas senggolan lenganku. Maka ‘kejar daku kau kulempar’ terjadi di kamar Puput dengan ramainya. Disela perang kami, kudengar ejekannya yang semakin membuatku terpingkal.
“ Oi..! si Mr. M minta nomor handphone kamu tuh! Hahahahh..!”
“ Jangan ah! Gak tau saya harus ngomong apa kalo mau nolaknya!” kukedipkan sebelah mata, sambil melanjutkan tawa kami.

***

Malam ini semakin tersadar, telah kuhadapi segalanya yang telah berlalu. Karena hidup telah memberiku berjuta warna. Memberikan banyak pelajaran, dari semua kisah yang telah tergores indah. Maka semuanya telah dibumbui oleh setiap rasa yang muncul.
Mereka yang masih mengasihi, menyayangi, dan mencintai. Hadir disetiap pagi ketika mata mulai terbuka. Berusaha menyambut dengan senyuman kerendahan hati. Tak ayal, semua tidak akan pernah terlupakan hingga akhir sang waktu menjemput.
Sebuah catatan kecil kubuat. Hanya sekedar mengekspresikan perasaan hati yang dulu terkungkung dalam permainan dunia. Mungkin pun akan membuat emosi dan jiwa lebih menerima arti disetiap mozaik kehidupan yang terpecah.
*Untuk Anda yang pernah singgah di  lubuk hatiku….
Yang berlalu..
Tenggelam seperti mataharimu
Aku tidak akan pernah menangisi kepergianmu
Dan mungkin, kamu tidak akan pernah melihatku termenung sedikit pun karena mengingatmu…
Kau  baru saja mengajakku ke jalan itu, dan aku mulai menemukan jalanku di jalanmu..
Saat aku menikmati jalanku yang sempat hilang, kau justru berbelok arah..
Namun, biarlah aku menikmati sendiri jalanku di jalanmu dulu..
Biarlah aku bercerita dengan kerikil di jalanku
Walau pun kita tak lagi sejalan.
Kan ku ingat bahwa dirimu pernah mengajakku ke jalan itu, jalanmu….


Karena setiap hati itu memiliki rasa. Rasa yang mungkin mampu membuat kita buta terhadap segalanya. Dan setiap insan telah berbeda dalam menafsirkan rasa itu. Hanya  kepada sumber dan pencipta hatilah baiknya kita kembali. Karena ia adalah Sang Pencipta Cinta yang sejati.
Namun, ketika rasa itu menyapa..
Biarlah ia menyambut pagiku dalam tiap-tiap tetes embun, udara kesejukan, bias cahaya kuning mentari, dan sisa-sisa napas dalam diriku. Menyambut malamku dengan ciptaan di malam-Nya, wajah lelah, senyum kepuasan, dan taffakur diri. Maka semua itu akan  bernilai ibadah bila dijalinkan pada ikatan yang suci.






Di tiap-tiap penghujung malam….
Makassar,  Maret-April 2011
 




*Sebuah senandung dari yang terilhami