Rabu, 12 November 2014

Monolog Rindu 8: Hujan


“Dan dari langit Kami turunkan air yang memberi berkah, lalu Kami tumbuhkan dengan (air) itu pepohonan yang rindang dan bijian yang dapat dipanen, dan pohon kurma yang tinggi-tinggi yang mempunyai mayang yang bersusun-susun, (sebagai) rezeki bagi hamba-hamba (Kami), dan Kami hidupkan dengan (air) itu negeri yang mati (tandus). Seperti itulah terjadinya kebangkitan (dari kubur).”
(QS.Qaf: 7-11)


Sungguhkah, bila selesapan kemarau hanya bisa dilakukan hujan ketika itu? Tentang sore yang hampir menemui petang, tanah daeng yang dibeberapa waktunya, melepas kemarau dalam hari berulangnya pada tahun-tahun.

Hari itu, pada pertemuan-pertemuan, bila rindu pada hujan semakin melekat, mengapa para pelintas tiap jalan menambah laju mereka seakan menjauh?

Adakah yang menikmatinya kala itu?

Tiga hari yang lalu, hujan menemui bumi. Menguapkan aroma-aroma tanah, bebatu, aspal, pijakan. Sebelumnya mendorong gerimis sebagai pengantarnya, menemui makhluk-makhluk yang tak pandai bersyukur.

Bilakah keluh-keluh bulan kemarau, turut menguap bersama hujan kala itu?

Sedang beberapa pertemuan yang terencana juga turut melontarkan keluh-keluh kehadirannya.

Pula sanggupkah, pelan-pelan kehadiran hujan mampu meredam gerutu-gerutu, kala bulan-bulan kemarau?

Tetapi, basah dikemudian waktu mungkin akan sama seperti gerutu-gerutu kemarau.

Tahukah, kau?

Saat langit sore itu dilekati rubung awan kelabu, lalu, sekelebat muncul wajah-wajah mereka yang pernah memeluk tubuh. Memeluk tubuh kecil yang gigil, kala itu, jelang malam semakin larut sembari nyanyian pengantar tidur sangat lembut mengalun ditelinga. Tak luput, beberapa kisah, dongeng, sirah nabawiyah, turut diperdengarkan agar kelopak mata mengatup dengan tenang.

Ketika telah dewasa,

Entah yang menjadikan apa, air-air langit selalu saja menjelma khawatir pada gigil yang mendekap. Selalu menjauh, merasa tak boleh menyentuh dingin bulir-bulirnya. Lantas, enggan adalah pilihan.

Ketika beberapa waktu, hujan menjadi begitu tebalnya. Pepohon melampai, meluruhkan dedaun. Pada dinginnya yang menusuk, pernah, pernah ada yang membisik pula disela-sela riuhnya.

Berkata,

“Ketika kauhindari saat seperti ini, bukankah kau telah menghindari nikmat keberkahan-Nya dari tiap-tiap tetes?”


Sore keempat, setelah hujan menuntaskan kemarau,


Makassar, Nopember 2014

Sabtu, 08 November 2014

Nopember: dalam tanda-tanda

Membiarkan oktober dalam kemarau. Satu keputusan bijak dengan turut membiarkan persoalanmu pergi bersama angin dan debu-debunya.

Menatap, bahwa hidup tidak melulu menjadikanmu cemas.

Seperti melesatkan waktu, rasa-rasa yang pernah kaucemaskan, sungguh, bukan perkara pahit untuk sekadar membincangkannya pada perempuan-perempuan yang selama ini bersedia menyiapkan pendengarannya untuk kaupinjam.

Perempuan,

dari semua kisah-kisah yang pernah menjejal otakmu, adakah sedikit pun keyakinanmu luruh pada balasan waktu?

Bukankah yang pernah sering kaukatakan, sejauh sepasang kakimu melangkah, pasti tetap akan kembali pulang pada langkah pertama?

Perempuan,

Keberanianmu yang menegaskan rasanya, dia, yang pernah hampir-hampir menggoyahkan pertahananmu, percaya saja, bahwa setiap hal yang pernah berjarak akan dipertemukan pada satu waktu.

Tentang hari keenam dalam nopember tahun ini.

Meski lugumu sempat ingin kau tunjukkan pada pertemuan siang itu, sepertinya itu tak perlu untuk sekedar kau putuskan mengelak.

Menghindar?

Tak juga, perempuan.

Dia, yang pernah membawamu dalam gamang. Yang pernah membawamu pada segala hal yang tidaklah mudah.

Pada pertemuan siang itu, pada perbincangan-perbincangan ringan, yang sesungguhnya sama sekali tak menyangka. 

Terkejutkah kau, perempuan?

Iya, tak menyangka, pada kali terakhir pertemuanmu terjadi ditiga tahun yang lalu, seingatmu.

Dan benar pada saat itu, siang menjelmakan dirimu menjadi kelu. Mungkin tak pernah kausangka, bahkan pun menghadirkan pertemuan itu dalam angan-anganmu.

Mengetahui, pada Juni kemarin, yang mengabarkan dirinya pada berita gamang.

Lantas, pada saat itu kau menghindarkah, perempuan?

Sedang siang saat itu, lagi-lagi sangat sulit kaulontarkan satu pun kata padanya.

Perempuan,

Salahkah kau bersikap demikian?

Salah pada apa?

Pada kesendiriannya yang ternyata masih mengharap-harap hatimu hingga kini?


Dua hari setelah hari keenam dalam nopember,



Makassar, 2014

Rabu, 29 Oktober 2014

Monolog Rindu 7: Kemarau



Kemarau adalah penerimaan yang lapang. Kemarau adalah penerimaan pada jejak-jejak angin yang kering lagi berat.

Apalah yang menyadarkan kita, bahwa tanah-tanah telah jemu pada ocehan dan keluhan kaki?

Apalah yang menggelitik kita, bahwa debu-debu yang selalu tertolak pada kedua lubang hidung, sedang kita selalu saja menghirupnya di jalan-jalan kota?

Ketika musim basah datang tanpa henti-henti, beberapa ocehan juga selalu mengikut pada sepatu-sepatu kita yang basah, ujung-ujung rok kita yang kotor karena ulah cipratan, tubuh-tubuh kita yang gigil dan seketika menjadi pemalas ketika dingin membungkus, dan kepala-kepala kita yang terasa ringan ketika bulir-bulir air langit menyentuh sela-sela rambut.

Kemarau. Matahari mungkin agak garang pada masa-masa ini. Iya, mungkinkah? Ataukah mungkin saja matahari sedang menyingkirkan awan abu-abu dimusimnya ini?

Kemarau. Di musim ini, tak banyak yang menyadari, umpatan-umpatan gerah berada di tengah-tengah siang.

Tak taukah, tanpa sadar bahwa sebenarnya mereka merindukan musim yang basah?

Kemarau. Sama halnya pada penghidupan. Dari beberapa kisah, ternyata, musim kematian telah menggandeng kemarau. Tahun ini. Iya, tahun ini.

Kemarau. Telah banyak mengantarkan insan-insan pada keribaan-Nya.

Kemarau. Apakah ketika kita merindui hujan, sedang pelajaran yang diberikan kemarau akan membuat kita lupa?

Kemarau. Apakah ketika teriknya siang, sedang pelajaran yang diberikan hujan akan membuat kita lupa?

Kemarau. Seperti pada musim kematian yang menemani, seperti hujan yang enggan nampak, pernahkah kita menyadari, bahwa mengembalikan rindu pada keduanya hanya ditujukan pada penciptanya?

  

Sore dan kemarau dalam Oktober, 2014

Selasa, 14 Oktober 2014

Monolog Rindu 6: Pulang



Ini adalah Oktober. Saat-saat kemarau datang menggandeng angin. Kemarau telah melatih angin menjadi lebih tegas. Pun, pada siang-siang dan malam-malam, kemarau telah menjadikan rindu menelikung pada: Pulang.

Pulang?

Berbicara pulang, bukankah selasar rumah selalu lapang dan sejuk untuk kita tempati duduk bersama?

Seperti dibeberapa waktu, kita selalu terjebak pada sangka-sangka yang resah. Pada beberapa waktu, kita selalu saja dengan lemah menerima sesuatu yang semestinya tidak kita terima. Kita selalu menganggap, bahwa hidup tak mesti selalu membahagiakan diri kita sendiri.

Ya. Dan lagi waktu selalu kejam menggiring kita pada penyesalan-penyesalan.

Dari semua yang pernah kita lalui, adakah waktu yang lebih berat seperti kemarin? Seperti yang kita rasakan, berat itu terlalu menghimpit dada dan kepala kita. Terlalu menyesakkan kita yang introvert. Terlalu menunjukkan bahwa kita terkadang abai pada hati kita masing-masing.

Ingatkah September kemarin yang penuh ujian?
Ingatkah Agustus kemarin yang terlalu lelah?
Ingatkah Juli kemarin yang menyendiri?

Baiklah. Pada beberapa suara teduh yang menemani kita, memilih pulang adalah jawabannya. Pulang pada diri kita sendiri. Menemukan kembali diri kita sendiri, ketika waktu (kemarin) telah menjadikan kita memilih untuk membaginya.

Pulang adalah sebaik-baik perjalanan. Seperti yang pernah kita katakan.

Dan setelah kita pulang, pernahkah kita sedikit berusaha memahami, bahwa pulang sesungguhnya adalah saat kita tak mampu lagi bergerak dan berbicara?


Bahwa pulang sesungguhnya adalah saat kita betul-betul sendiri, bertanggung jawab atas apa yang pernah kita lakukan bersama waktu.

(Bersama pagi)

Makassar, 14 Oktober 2014

Rabu, 10 September 2014

Monolog Rindu 5: Berita Kematian

“Tiap-tiap diri yang melekat pada nyawa, suatu waktu, akan merasakan kematian. Pasti. Bahkan pun ketika kaumerasa tidak mampu menerima. Dan ketika kau merasa bahwa hidup tak mestinya sangat singkat.”



 Ingatlah, bahwa hidup memang tak selamanya berpihak pada ingin-ingin dan bahagiamu. Bahkan pun kematian, yang sesungguhnya sangat dekat kehadirannya.

Ingatlah, bahwa hidup tak akan selalu menemanimu dan menemaninya.

Ingatlah, bahwa merasa “siap” menghadapi kematian adalah satu-satunya cara terbaik untuk kaubisa menerima.




Pada bulan yang banyak mengantar berita kematian,

Makassar, September 2014

Senin, 08 September 2014

Monolog Rindu 4: Ini Tentang Rindumu, Dik

“Menanggung rindu memang berat, perempuan. Bahkan mungkin lebih berat ketika kauputuskan untuk tidak menyampaikannya pada yang kaurindukan.”




Tersebutlah pada suatu senja yang enggan kembali mencipta monolog tentang rindu. Iya. Seketika itu, sangat jelas rindu betul-betul merekat. Menempel pada ingatan-ingatan yang sungguh ingin melupa.

Dik, di beberapa waktu yang berucapkan rindumu yang berjarak, entah mengapa hampa-hampa selalu saja menjelma pada ketegaran yang sungguh rapuh.

Pikirmu, kakakmu ini tegar menyembunyikan rindunya, Dik?

Yang kautahu mungkin seperti itu.

Kakakmu ini tak seperti dirimu, yang dengan mudahnya meluahkan rindu.

Tak seperti dirimu.

Dik, andai kautahu pula, tiap-tiap rindu yang pernah (pun) kausisipkan pada jarak-jarak waktu yang membawamu saat ini, sesungguhnya ada beberapa tanya-tanya yang pernah hinggap.

Sungguh, seberat itukah kaumenanggung rindumu, Dik?

Seberat itu pulakah ketika kaumenanggung rindu yang selalu ingin kauluahkan, ketika pun terkadang kakakmu ini tak menyadari?

Ah, mungkin kakakmu ini terlalu betah menyembunyikan rindu-rindunya dibalik perjalanan-perjalanan, terlalu betah dengan diamnya.

 Ataukah mungkin terlalu betah dengan mengamatinya.

 Dik, seperti yang pernah diketahuinya, kakakmu telah tahu, bahwa rindu tak mesti terumbar.

Tak mesti semua orang mengetahui.

Cukup itu, Dik.

Dan, ketika rindumu kembali menghampiri, kirimkanlah doa-doa.

Sebab mendoakan adalah cara yang lebih damai untuk menjadikan rindumu tetap senyap.


Akhir Agustus-September 2014


Rabu, 27 Agustus 2014

Monolog Rindu 3: Tentang Diam Bapak


Sepi menutup. Ketika diammu tidak lagi hangat. Pada kedatangan renggas-renggas waktu yang mengantarkan masing-masing ego pilihan.

Sesaat dalam pelan-pelan waktu yang menggiring pertemuan-pertemuan, pernah ada percaan keraguan dalam diammu. Mungkin itu adalah keraguan rasa yang dimiliki anakmu ini.

Pak, ketika anakmu ini memutuskan sejak dulu, tak akan ada seorang lelaki pun yang menggantikan tempatmu pada kagum-kagumnya. Tidak akan ada seorang lelaki pun yang bisa menggantikanmu sebagai sosok yang selalu menginspirasinya. Tidak akan!

Dikedua bola mata dan hati anakmu ini, diammu adalah hangat yang sulit luruh. Diammu adalah genggaman-genggaman nasihat, dari dan untuk perjalanan hidup. Diammu adalah sesuatu yang selalu ditunggunya, bersama saling menyeduhkan cerita-cerita.

Masih kauingat kan, pak, ketika perlahan-lahan anakmu ini semakin antusias mendekati Tuhan?

Masih kauingat kan, pak, ketika anakmu ini memutuskan untuk menutup helai-helai rambutnya, tidak sama seperti menutup yang hanya sekadar?

Masih kauingat kan, pak, ketika sebuah waktu mengantarkan kita duduk bersama, di rumah kita yang dikepung deras hujan, sedang kita saling menangisi keadaan?

            Ketika kali terakhir anakmu ini pulang, kenapa tak lagi dilihatnya diammu yang hangat seperti dulu?

Lantas, kenapa diammu berubah dingin, pak?

Kenapa, pak?



Pinrang-Makassar, Agustus 2014



Senin, 04 Agustus 2014

Monolog rindu 2: Tentang Rumah (Kita)


            Dari sudut-sudut waktu, mungkin saja, bahwa asa-asa bisa saja perlahan menjadi layu, mati tak berbekas. Asa-asa yang dulu pernah disemai pada harap-harap yang tertanam, membunga, membuah, dan meranum.

Pernahkah, ketika sepotong waktu datang dengan pongahnya, lalu merampas segalanya yang telah kau simpan baik-baik, Bu?

Pernahkah, ketika sepotong waktu datang dengan pongahnya, lalu merampas segala inginmu yang mengharap, Bu?

Pernahkah, ketika sepotong cemas datang dengan pongahnya, disebagian impian-impianmu, Bu?

Andai engkau tahu, Bu.

Anakmu ini tak lagi bisa menyelaraskan harap-harapmu pada harap-harapnya pula. Anakmu ini telah menatap lebar-lebar hidup. Telah banyak pasrah pada jalan-jalan yang dipilihnya. Telah banyak pahit-pahit yang payah ditelannya, meski tak seperti payahmu yang lebih berat, Bu.

Bu, anakmu ini telah memilih jalannya sendiri.

Pada harap-harapmu pula yang indah, sesungguhnya ada ingin anakmu, yang sangat dalam untuk memijakkan kaki pada jejak-jejak impiannya sendiri.

Bu, ketika anakmu ini menyerapi rumah (kita).

Kutahu, pernah ada banyak kecewa yang tergores di wajahmu, Bu. Ketika diputuskannya membagi perhatiannnya pada yang lain.

Bu, ketika siku-siku rumah tak lagi ada banyak waktu untuk kita resapi bersama, apakah kerelaanmu masih tetap ada jikalau waktu menarik anakmu ini, tanpa kaukira-kira?

Bu, ketika anakmu ini ditarik oleh waktu, memilih berada di rumah-rumahnya yang lain adalah kesungguhan yang tak boleh kautolak. Jangan.

Anakmu telah betah disana. Anakmu ini telah banyak belajar pada manusia-manusia kuat. Banyak belajar pada lekuk-lekuk hidup yang belum pernah kauajarkan, Bu.

Sungguh, di rumah-rumah itu, anakmu ini banyak memahami hidup, banyak memaknai segala rasa yang pernah pula sangat tidak disukainya, Bu.

Bu, tak pantaskah, jikalau anakmu ini masih menginginkanmu mengajarinya terus mendewasa, tanpa terlalu keras kauinginkan sesuai inginmu?

Percayalah, Bu.

Anakmu ini masih ingin tetap bisa menikmati pecahan-pecahan kenangan masa kecil, bersamamu di teras rumah. Iya, masih ingin diingatnya beberapa tawa-tawa dan sedih yang pernah dipautkan dikedua tangan kecilnya.

Bu, mesti sekeras apa lagi anakmu ini meyakinkanmu?

Ingat, Bu. Rumah (kita) bukan satu-satunya rumah yang akan selalu kukunjungi, kuresapi, dan kunikmati lipatan-lipatan waktu didalamnya, Bu.

Karena ada banyak rumah-rumah kecil yang selalu menunggu kehadiran anakmu ini, Bu.

Percayalah, Bu.

Rumah (kita) akan tak mudah luruh, ketika anakmu ini memutuskan membagi sebagian hidupnya di rumah-rumah kecilnya.
Iya. Karena anakmu ini akan selalu punya alasan untuk pulang, ke rumah (kita).



Makassar, Agustus 2014


Jumat, 18 Juli 2014

Memeluk Bahagia



“Bahkan bahagia juga bisa hadir dalam senyap.”

Bagi sebahagian besar manusia, bahagia adalah sebuah yang didapati pada senyum-senyum, kabar-kabar baik, impian yang terwujud, tentang rasa, dan apapun yang menjadikannya melekat dalam ingatan.

Termasuk yang pernah mengatakan bahwa bahagia juga bisa hadir dalam senyap.

Bahagia?

Adakah yang bisa mendefinisikan bahagia menyerupa apa?

Apakah sepenuhnya bahagia adalah ketika engkau mendapatkan apa yang telah lama kauimpikan?

Yang kauinginkan?

Jika betul adanya seperti itu, pernahkah kaumerasa bahagia, ketika kegagalan-kegagalan saling berebut menghimpitmu?

Apakah bahagia adalah ketika semua hal yang kauinginkan berjalan sesuai dengan harap-harapmu? Seperti yang kau inginkan?

Jika betul adanya seperti itu, pernahkah kaumerasa bahagia, ketika ketidaksesuaian inginmu akhirnya datang sekenanya tanpa kauminta?

Apakah bahagia adalah ketika semua hal-hal perih yang pernah kauinjak untuk menghilang, tetapi semuanya tetap berkeras tak payah?

Apakah bahagia adalah ketika semua hal-hal membuatmu tersenyum manis dan wajah-wajah yang kaudapati berbalik semringah?

Bahagia.

Kepadamu, yang selama ini terus-menerus mencari bahagia, pada jalan-jalan becek, kumuh-kumuh rumah, kebisingan kota, kepenatan tubuh, angan-angan, hiruk pikuk hedonis, helaian udara, atau pun pada sunyi-sunyi.

Kabari, kabariku ketika bahagia tak pernah datang dari dirimu sendiri.

Kabariku, ketika bahagia hanya kautemukan di luar, bersama manusia-manusia lain.

Ah, apakah tak pernah kaupikir bahwa bahagia ada adalam dirimu sendiri, tanpa perlu kaucari?

Seberapa teganya bahagia seenak jidatnya bisa meninggalkanmu seperti itu?

Bahagia itu sesungguhnya bisa kaubentuk sendiri.

Campurkan dengan titik-titik warna yang kausukai.

Warna yang pernah kaucerita waktu itu. Tentang warna yang selalu membuatmu lupa pada masa lalu.

Peluk.

Peluklah bahagia, seperti pernah kaumemeluk tubuh-tubuh yang kausayangi, bersama bahagia.



Menjelang penghabisan Ramadhan,

Makassar, 18 Juli 2014


Kamis, 10 Juli 2014

Monolog Rindu

            Menuliskan rindu, teringat dengan seorang yang tak pernah jemu menuliskan kata berlima huruf ini. Iya. Dan akhirnya rindu itu benar-benar merangkul, pada malam sebelum kepulangan. Rindu itu datang dengan senyumnya yang menjengah.

Meski pada rindu-rindu yang kemarin telah disambut ‘debat’ pada pilihan calon penguasa tahta negeri ini, tetapi sungguh rindu itu seketika mengeras membatu, Bu. Dan, tak semestinya masing-masing kita memilih untuk diam dingin pada ego.

Aih, sudahlah, Bu.

Diam-diam, ternyata ada sebuah rindu yang pernah kusembunyikan dari saku heningku.

Pernah menyimpan rindu itu, ketika memilih kewajaran dan menjadikannya sebagai sebuah hal yang ‘biasa-biasa’ saja, Bu.

Tetapi, entah. Di tengah sisa gerimis yang meniupkan malam kali ini, rindu itu menguat, Bu.

Rindu itu seperti menari-nari di kamarku, dibeberapa hari kumemilih untuk mengurung diri dari celoteh-celoteh rumah ini.

Ada sangat banyak yang pernah kulalui diluar sana, Bu.

Mungkin kau pun sadari, sekarang anakmu ini mulai cerewet, sok tahu, suka protes, sok benar.

Iya kan, Bu?

Ah, Bu. Dunia diluar sana sangat kejam.

Jikalau kautahu, mungkin tak sekejam yang pernah kaurasakan ketika juga pernah hidup diatas tanah kota itu, dulu sekali.

Dia lebih kejam, Bu.

Bahkan mungkin pernah mengiris-iris hati dan isi perut anakmu ini. Kekejamannya pernah menjadikan beberapa tangis dengan terpaksa disimpannya dalam senyum-senyum sok tegar. Menyimpannya dibalik beberapa hambar. Pernah pula menjadikan kedua kaki anakmu ini tak bisa diam, gelisah, Bu.

Ah, Bu.

Menuliskan ini, sebenarnya anakmu ini rindu. 
Sangat rindu.

Pada siapa?

Ingin kau tahu, Bu?

Iya, Bu. 

Anakmu ini rindu pada Pemilik Rindu, yang pernah disimpannya dalam saku hening.

Sangat rindu pada waktu tidur panjang yang mengembalikan pulang pada-Nya.


Pinrang, 10 Juli 2014





Sabtu, 21 Juni 2014

KITA: Bersama Waktu-Waktu

(Untuk dua perempuan: Dikpa Sativa dan Srie Sagimoon)

             Kita tak pernah bisa membantah. Bahwa hidup selalu seperti lapisan-lapisan tajam atas nyawa masing-masing kita. Bahwa hidup serupa warna-warna lugu yang sewaktu patuh menyelimuti tubuh-tubuh kita.

 Kepada malam kemarin, yang membiarkan uapan-uapan kisah saling berebut didekap hujan. Kutahu, ketika waktuku selalu saja menunjukkan benci pada gigil.

Ada yang menarik. Baberapa hal yang mesti selalu kita perbincangkan. Pada malam yang ikut menyimak kehangatan. Iya. Bahwa kita tahu, harapan-harapan itu tak boleh hilang. Tapi harus tetap menumbuh. Sebab, jejak-jejak kita belum jauh memijak.

Pada siang menuju senja ini. Apa yang selalu tertinggal pada pertemuan-pertemuan jengkal di istana-Nya?

Mendewasa adalah sebuah niscaya.

Hidup adalah kekuatan-kekuatan.

Benar, bahwa hidup adalah banyak-banyak belajar dan memaknai.   

Terima kasih kepada dua perempuan. Mengingat kalian pada sepotong perjalanan hidup adalah sebuah tumpukan kekuatan yang lembut.

Dan mencintai kalian adalah sebuah pilihan yang menenangkan.



Terima kasih.

Uhibbukumfillaah. 

Minggu, 15 Juni 2014

Yakini

Betapa , bahwa melungsai ikatan adalah sebuah cara menguatkan ikatan pada sisi-sisi yang lain.

Ingatlah ini, perempuan.

Seorang yang pernah membersamaimu, yang rela menampung sedihmu, yang menyiapkan sepasang telinganya untuk mendengar kekatamu, yakini, bahwa suatu waktu dia akan tertarik pada potongan-potongan dimensi yang lain.

Yakini, bahwa ia tak akan  selalu menggenggam tanganmu sebagai persaudaraan.

Suatu saat akan ada tangan lain yang lebih kokoh untuk menguatkannya. Akan ada jemari lain yang membasuh linangan-linangan matanya. Dan akan ada sepasang tangan  lebih luas yang bisa lapangkan rentangan pelukannya lebih dalam.
Bukan kedua tanganmu lagi, perempuan.

Yakini itu, perempuan.

Lihatlah, bahkan mungkin akan ada sepasang tangan persaudaraan lain, yang sejak dulu hadir diam-diam.
Yang sejak dulu pernah dengan senang hati membiarkan celoteh-celotehmu, keluh-keluhmu, bercampur bersama diam dan kepingan matanya yang peduli.
Mungkin, sama sekali belum pula sepenuhnya kausadari hadirnya.
Tapi, bersama waktu, dia bukan hanya seseorang yang semula datang diam-diam mendengarmu.

Yakini, ia juga akan seperti yang lain.
Akan pergi.


Makassar, 15 Juni 2014







Senin, 02 Juni 2014

Gamang


Bahwa memilih jodoh: sebuah keniscayaan.

“Aku akan menikah. Mohon doa restumu. Telah kuputuskan mencari yang lain. Sebab kutahu, tiga tahun ke depan kau tak ada rencana untuk menikah. Sedangkan usiaku pasti semakin menua. Maaf atas segala khilaf. Semoga dirimu pun segera menemukan jodoh.  Jangan sampai karir dan impian muda menelantarkan usiamu, sehingga dirimu tak sadar telah menua.”

Kutahu. Iya, kutahu bahwa sebuah keniscayaan sangat patut untuk diusahakan. Kelak agar sesuai dengan keinginan hati.

Lantas, ketika harapan-harapan telah lama menjenjal pada masa-masa penantian, masih betahkah setiap hati masing-masing kita gamang pada keheningan derak-derak waktu?

Sudahlah. Bahkan diam saja masih tetap kurasa bingung menoleh pada keputusan-keputusan.
Mengetahui itu, adalah bukan hal yang mudah.

Bahkan ketika bait-bait doa masih saja saling berebut takdir, kaki-kaki ini juga masih tetap mengiba untuk mengokoh.

Bahwa hal itu bukanlah hal yang mudah.

Merapal mimpi pada prasangka-prasangka, bukan pula semudah yang dibayangkan.

Pada pertalian hidup, pada ijab qabul yang mengikat, pada rencana-rencana hidup, masa depan, anak-pinak, harta, ibadah.

Pada Lauh Mahfuz (?)

Iya, semua adalah kenisyaan (yang) masih patut diusahakan.

Semua tak datang sendiri, berlomba-lomba untuk saling ditentukan waktu.

Rasai juga ini, rasai.

Bahwa memilih bukanlah hal yang mudah.

Tak semudah mengharap-harap pada kecukupan janji-janji. Pada keinginan-keinginan semu.

Ingat, ingatlah ini.

Bahwa pertalian lelaki dan perempuan adalah keniscayaan dalam kasih sayang-Nya yang tidak akan bisa mengelupas.

 Bahwa hidup pada hal yang berbeda butuh masa yang saling bergerak bersama.

Mengertilah, bahwa ini bukan pengingkaran.

Ini bukan pula hal yang perlu dipaksa.

Tapi ini adalah memahami.


Tentang sebuah pesan pagi tadi, 

VAA Makassar, 2 Juni 2014


Untukmu:
Kutahu, bahwa menanti sejak tiga tahun yang lalu, bukan hal yang mudah bagimu.
Semoga kelak yang ditunjukkan-Nya adalah yang terbaik dipilihkan sebagai pendamping dan ibu bagi anak-anakmu.
Semoga Allah selalu menghimpunmu pada kebaikan-kebaikan-Nya, pada kasih-kasih lembut-Nya, dan kemurahan-Nya.
Aamiin.