“Karena
Allah memilih dia untukmu, dan memilihmu untuknya.”
(Rahma Afnan)
(Rahma Afnan)
Percayalah,
ketika masa telah ditentukan waktu putusannya untuk menggugurkan kering-kering
layu bebatangan kuncup, maka Sang Penentu hanya andil pada kepastian-kepastian.
Percayalah, ketika semai-semai berbagai kisah dipautkan dalam jalinan
potongan-potongan kekata, maka diri bukanlah lagi seserahan pada yang menginginkan.
Ketika
ikatan-ikatan dengan sengaja menghimpun rasa-rasa yang memanusia, kepercayaan
akan perlahan tumbuh membangun jiwa-jiwa. Itulah, bahwa menelikungkan hati-hati
pada anjuran-Nya, adalah sebuah kemuliaan pada penghambaan insan-insan.
Mendewasa
bukan suatu hal yang mudah. Kejutan-kejutan kecil terkadang muncul menampakkan
malu-malu. Ya, itu karena kita telah sama-sama belajar. Belajar memahami dari
masing-masing diri kita.
Baiklah.
Mungkin waktu agak tertinggal ketika menuliskan ini.
Kusebut kamu perempuan yang lain, Kak.
Beberapa
kisah menjadikan aura hidup kita sangat basah. Mengingat jelas, bahwa perbedaan
fiqrah tak pernah menjadi masalah
bagi kita untuk memahami titah-Nya.
Dulu,
Kak, ada siang menjelang senja yang seksama mencoba memahami keluh-keluhmu.
Siang itu menjadikan kalimat-kalimat kita menguap tak tentu arah. Iya Kak,
mungkin kau sadari pula betapa kesalnya dirimu, saat itu.
Bukan
hanya pada waktu itu saja. Masih pada siang yang berbeda, ada cerita-cerita
yang kau coba embunkan dari gerahnya hatimu. Dari tuturmu, nampak jelas
hentakan-hentakan itu di telingaku. Kau sampaikan itu, mungkin pula untuk kaucoba menyirami hatimu.
“Ini
bisa kau jadikan sebuah cerpen.”
Begitu
saranmu, ketika kedua mataku hanya bisa tersenyum sambil sedikit menanggapi.
Baiklah,
Kak. Itu kisah tentang kerisauanmu, dulu sekali. Terkadang sama sekali tidak
menyangka, bahwa memahami dan memaknai sebuah kisah, tak mesti pada tiap-tiap
manusia yang kita anggap seideologi.
Ataukah
mungkin hanya butuh kuping yang mau rela mendengar dengan perhatian? Mungkinkah
pula kau sudah terlanjur menganggapku sebagai penyimak yang baik, Kak? Padahal
kukira ada banyak adik-adikmu yang seperti perkiraanku. Entahlah.
Kemarin, kabar bahagiamu
telah dimuarakan pada Lauhul Mahfudz.
Haru-haru itu masih
melekat diingatanku sampai hari ini, Kak. Masih teringat pula, ketika selalu
berusaha menemanimu dalam prosesi-prosesi sakral yang telah lama kaunanti. Ya,
masih teringat pula ketika goresan-goresan wajah kecemasanmu sempat tergaris
bersama kebahagiaan.
Bahkan, ketika juang
dakwahmu masih tetap kaupertahankan, saat waktu-waktu menjadikannya tak sesuai
dengan risalah-risalah-Nya yang telah lama kaupahami. Dan haru itu kembali
hadir untuk istiqomahmu, Kak.
Bahagia selalu tercurah
untukmu, yang telah mendapati teman hidup di sisa usiamu.
Benar, bahwa dia adalah
seorang terbaik yang telah dipilihkan untukmu, untuk anak-anakmu yang soleh dan
solehah, kelak.
Benar, bahwa dia
seorang adalah lelaki terbaik yang bersamamu akan selalu menjaga dan membimbing
dalam tapak-tapak kehidupanmu, Kak.
Mungkin pula akan ada
banyak cerita yang lahir ketika telikung itu telah melewatkan waktu pada kalian.
Semoga berkah selalu
dan senantiasa tercurah pada kalian untuk sama-sama mendewasa, menua, dan
menyetia di dunia maupun di akhirat kelak.
“Barakallahu
lakuma wa Baraka ‘alaikuma wal jama’ah bainakuma fii khair.”
Sebuah kado pernikahan untuk:
Kak Ayu Nirmawati Muhammad (Maros,
21 Mei 2014)
“Maaf, belum bisa memberimu kado pernikahan di dunia nyata, karena terlupakan waktu itu.” :D
“Maaf, belum bisa memberimu kado pernikahan di dunia nyata, karena terlupakan waktu itu.” :D
Makassar, 22-24 Mei 2014