“Dan
dari langit Kami turunkan air yang memberi berkah, lalu Kami tumbuhkan dengan
(air) itu pepohonan yang rindang dan bijian yang dapat dipanen, dan pohon kurma
yang tinggi-tinggi yang mempunyai mayang yang bersusun-susun, (sebagai) rezeki
bagi hamba-hamba (Kami), dan Kami hidupkan dengan (air) itu negeri yang mati
(tandus). Seperti itulah terjadinya kebangkitan (dari kubur).”
(QS.Qaf:
7-11)
Sungguhkah, bila
selesapan kemarau hanya bisa dilakukan hujan ketika itu? Tentang sore yang hampir
menemui petang, tanah daeng yang dibeberapa waktunya, melepas kemarau dalam
hari berulangnya pada tahun-tahun.
Hari itu, pada
pertemuan-pertemuan, bila rindu pada hujan semakin melekat, mengapa para
pelintas tiap jalan menambah laju mereka seakan menjauh?
Adakah yang
menikmatinya kala itu?
Tiga hari yang lalu,
hujan menemui bumi. Menguapkan aroma-aroma tanah, bebatu, aspal, pijakan.
Sebelumnya mendorong gerimis sebagai pengantarnya, menemui makhluk-makhluk yang
tak pandai bersyukur.
Bilakah keluh-keluh
bulan kemarau, turut menguap bersama hujan kala itu?
Sedang beberapa
pertemuan yang terencana juga turut melontarkan keluh-keluh kehadirannya.
Pula sanggupkah, pelan-pelan
kehadiran hujan mampu meredam gerutu-gerutu, kala bulan-bulan kemarau?
Tetapi, basah dikemudian
waktu mungkin akan sama seperti gerutu-gerutu kemarau.
Tahukah, kau?
Saat langit sore itu
dilekati rubung awan kelabu, lalu, sekelebat muncul wajah-wajah mereka yang
pernah memeluk tubuh. Memeluk tubuh kecil yang gigil, kala itu, jelang malam
semakin larut sembari nyanyian pengantar tidur sangat lembut mengalun ditelinga.
Tak luput, beberapa kisah, dongeng, sirah
nabawiyah, turut diperdengarkan agar kelopak mata mengatup dengan tenang.
Ketika telah dewasa,
Entah yang menjadikan
apa, air-air langit selalu saja menjelma khawatir pada gigil yang mendekap. Selalu
menjauh, merasa tak boleh menyentuh dingin bulir-bulirnya. Lantas, enggan adalah
pilihan.
Ketika beberapa waktu,
hujan menjadi begitu tebalnya. Pepohon melampai, meluruhkan dedaun. Pada dinginnya
yang menusuk, pernah, pernah ada yang membisik pula disela-sela riuhnya.
Berkata,
“Ketika kauhindari saat
seperti ini, bukankah kau telah menghindari nikmat keberkahan-Nya dari
tiap-tiap tetes?”
Sore keempat, setelah hujan
menuntaskan kemarau,
Makassar, Nopember 2014