Rabu, 30 Desember 2015

Monolog Rindu 14: Melupa dan Mengingat

Padamu yang selalu mengaku pelupa pada setiap orang. Mengaku pelupa pada setiap waktu yang pernah kau lewati. Mengaku pelupa pada setiap ingatan yang singgah ataukah yang menetap diotakmu.

Kamu tahu, hal yang paling sulit dilakukan setiap orang?

Melupa.

Namun kita tidak sadar, disatu sisi sangat mudah untuk melupa.

Kita selalu mudah:

melupa untuk mengingat; memahami
melupa untuk mengingat; melapangkan hati
melupa untuk mengingat; memaafkan
melupa untuk mengingat; merangkul
melupa untuk mengingat; memaklumi
melupa untuk mengingat; kebaikan setiap orang
melupa untuk mengingat; bersabar
melupa untuk mengingat; bahagia

Kita tidak sadar, disatu sisi sangat sulit untuk mengingat.

Kita selalu sulit:

mengingat untuk melupakan; prasangka
mengingat untuk melupakan; benci
mengingat untuk melupakan; dendam
mengingat untuk melupakan; iri
mengingat untuk melupakan; amarah
mengingat untuk melupakan; egois
mengingat untuk melupakan; dengki
mengingat untuk melupakan; sombong.


Makassar, penghujung Desember 2015 


Selasa, 08 Desember 2015

Monolog Rindu 13: Dewasa

“Kamu, yang selalu menuntut kedewasaan. Apa tolok ukur kedewasaan menurutmu?
 Bisa kau jelaskan?”


Hanya merasa heran, seseorang selalu mengingatkan untuk “sedikitlah bersikap dewasa”, saat kesalahan-kesalahan atau apapun yang saya lakukan tak sejalan dengan arahan dan keinginannya.
Disaat yang bersamaan, merasa “kurang dewasa”, “tidak dewasa”, ataukah “masih kekanak-kanakan” seketika membuat untuk berpikir berulang-ulang.

Lalu, memahami menjadi dewasa sesuai inginnya adalah ambigu.

Sesungguhnya, kita hanya bisa memilih. Mendewasa seiring waktu merangkak atau mendewasa bersama peristiwa yang mendesak.



Makassar, Desember 2015

Jumat, 27 November 2015

Sekat

Adakah selalu keyakinan tanpa perlu ditanya asalnya?
Kamu, yang pernah diantar waktu
Pada ingin-ingin yang selalu digugu
Pada tiap-tiap gigil yang pernah menjadi lalu
Pada doa-doa yang selalu disebut

Lantas, apakah mesti menjadikan diam berkawan dalam sunyi masing-masing kita?
Kisah memang selalu seperti ini
Pada setiap cerita-cerita yang tak pernah kita ingini
Pada setiap rasa-rasa yang lirih

Apa yang kita ingini, jika setiap harapan tak akan pernah kita ketahui dimana muaranya?
Kali yang kesekian, setiap ucap bukanlah tentang rasa
Pada jarak-jarak yang sengaja dicipta
Pada senyap yang sengaja setia
Pada waktu yang entah


Makassar, Nopember 2015

Kamis, 16 Juli 2015

Monolog Rindu 12: Cahaya


Kelak,

apa yang dijawab mata ini,
apa yang dijawab telinga ini,
apa yang dijawab mulut ini,
apa yang dijawab tangan ini,
apa yang dijawab kaki ini,
apa yang dijawab hati ini,

ketika ditanyai, “Untuk apa kau gunakan disepanjang usiamu di dunia?”

sedang ketidaksadaran itu selalu menebal

menutup cahaya-cahaya-Nya

pada jiwa yang selalu abai dan lalai

lantas, dalam bulan yang berusaha meluaskan cahaya-cahaya itu, dirasa tak cukup masa kehadirannya

kutahu, hadirnya akan pasti ada

akan tetap ada dalam tahun-tahun

tetapi, tak pernah kuketahui, izin-Nya terhadapku akan masih ada untuk kembali bertemu.  



Waktu penghabisan Ramadhan,

Pinrang, 29 Ramadhan 1436 Hijriah/ 16 Juli 2014

Senin, 01 Juni 2015

Monolog Rindu 11: Hati


(Sebuah Pesan dan Nasihat)


“Selalu jaga sikap hatimu, Nak. Sebab hati adalah pengontrol jiwa 
dan kekuatan tubuhmu.”

Pada kisah-kisah yang kaulalui, tidak ada jaminan, bahwa hatimu akan tetap baik-baik saja disetiap waktu. 

Nak, ketika kau memutuskan untuk mengasihi siapa pun layaknya saudara, kau harus siap menerima segala baik dan buruk yang ada padanya.

Karena kau tahu pula, setiap manusia adalah tempat segala laku yang khilaf.

Nak, ingat ini. Ketika sebuah hati yang pernah kaupercaya, tiba-tiba disuatu waktu melukai dan menyayat-nyayat hatimu, rawatlah luka-luka yang ditimbulkannya hingga sembuh. Tidak perlu kau pelihara benci, Nak.

Sebab memelihara benci dan memendam hingga membentuknya menjadi gumpalan dendam, adalah salah satu cara untuk  menyakiti dirimu sendiri.

Hatimu haruslah kuat, Nak. Melebihi kuatnya tubuhmu. 

Bagi siapa pun yang telah kau anggap menyakiti hatimu, sesungguhnya tidak semua berniat jahat padamu, Nak. Tidak semua. 

Setiap manusia punya warna masing-masing. Punya laku yang sama sekali tidak bisa kita paksakan untuk selalu memahami diri kita sendiri. 

Bisakah kau lapangkan hatimu sejenak, tanpa mendorong egomu yang negatif itu, Nak?

Lapangkan.

Bersabarlah.

Menerimalah. 

Memaafkan. Bukankah banyak petunjuk-petunjuk-Nya yang mengajarkan hati kita untuk menjadi lebih pemaaf?

Bukankah ketika sebuah hati sedang rusak, maka rusak pulalah seluruh tubuh?



Disisa hujan pertama dalam senja,
Makassar, Juni 2015



Sabtu, 02 Mei 2015

Padamu Yang Kelak Menjadi (Kita)

Disadari atau tidak, semua kisah akan menemui masanya. Tiap-tiapnya akan bertemu pada takdir yang entah. Jelaslah, semua kaki-kaki kisah akan terhenti pada waktu yang telah ditetapkan, pada takdirnya.

Padamu, dan sepenggalan kisah waktu itu. Yang tak mampu lagi tertolak. Sudah tergores pada lembaran-lembaran hidup.

 Pada apa yang akhirnya terciptakan pertemuan-pertemuan?

Mungkin, mungkin saja hati ini selalu sangsi pada hal yang mengejutkan. Pada segala macam bentuk peristiwa yang terkadang belum bisa dipahami nalar. Tetapi, apakah lebih baik mengikuti hati dibandingkan takdir, yang jelas tampak dan tujuannya?

Sempat kutanyakan ini pada sesiapa pun yang paham. Katanya, “Pilihlah pada kecenderungan hatimu. Mantapkan pada sujud-sujud istikharahmu. Sebab tak semua ikatan bisa terjalin dan bertahan hanya bermodal perasaan ataupun cinta. Menunda niat itu, tak baik. Bisa jadi setan telah menghalangi untuk ibadah.”

Kecenderungan. Apakah yang dimaksud kecenderungan itu adalah pada seseorang yang telah lama ada? Seseorang yang tidak asing, yang pernah menyimpan harapan-harapannya dalam bilangan tahun?

Ataukah kecenderungan itu ada pada seseorang yang sama sekali hadirnya tidak pernah disangka?  

Dan, ah. Tetiba saja merasa belum waktunya menyadari itu. 

Sudah siapkah diri ini menjalin ikatan sakral yang (dulu) pernah selalu diingkari hanya dengan dalih ‘belum siap’?

“Tak perlu kata siap, jika takdir sudah berbicara. Bukankah setiap kelahiran dan kematian juga tidak pernah meminta dan menunggu kata siap? Begitu pula takdir yang ini. Kau tak bisa menolak, jika takdir telah memilih waktu dan memilihmu. Kamu hanya butuh meyakinkan diri dan ridha atas ketetapan-Nya.”

“Kenapa mesti menolak jika dia orang yang soleh?”

Itu ucap dua orang perempuan, yang usianya tak seluas dewasanya yang lebih lapang. Lantas ucap mereka sejak saat itu, telah mengubah dalihku saat ini.

Padamu, yang kelak menjadi Kita….
Salahkah jika kutuliskan ini untukmu?

Padamu, yang kelak menjadi Kita….
Kutuliskan ini, ketika menemukanmu adalah abstrak. Ketika risau itu pernah mendekat.

Padamu, yang kelak menjadi Kita….
Tahukah kau, bahwa diwaktu-waktu ini, memilih untuk menaruh harap padamu (seseorang yang entah) adalah hal yang naif menurutku? Bahkan belum pernah ada sekelebat pun rupa wajah yang tergambar dibenakku, tentangmu.

Padamu, yang kelak menjadi Kita….
Meski, memang pernah ada seseorang yang menaruh harap dan kujauhkan kecenderungan itu padanya. Tetapi tetap, tetap saja hati ini belum bisa memijak pada kecenderungan sesiapa pun. Meskipun yang ditunjukkan-Nya masih seperti serabun embun-embun yang menempel di jendela.

Padamu, yang kelak menjadi Kita….
Akhirnya menyadari, bahwa memutuskan untuk menjemput takdir itu, adalah sebaik-baik pilihan. Cepat ataupun lambat.

Padamu, yang kelak menjadi Kita….
Saat ini, (bukan nanti) kutunggu kau menjemputku diantara cemas-cemas yang meraba hadirmu. Ya, jika waktu telah menunjukkan takdir dibulan dan ditahun ini juga. Akan kutunggu.

Padamu, yang kelak menjadi Kita….
Harapku tak banyak. Tetap baikkan dirimu. Seperti aku yang juga sedang memantaskan diri, untukmu.

Padamu, yang kelak menjadi Kita….
Biarkan, biarkan doa-doaku mengalir disungai-sungai harapmu. Dan juga harap pada-Nya.




Disela keputusan-keputusan, hujan, dan sesapan secangkir sekoteng


Makassar-Pinrang, akhir April-Mei 2015


Sabtu, 25 April 2015

Sesungguhnya Kematian Itu Dekat Dik, Sangat Dekat!

“April pekan ini meluruhkan hujan dalam senja. Hari agung yang diberkahi, serta doa-doa yang mengalir tanpa henti. Dan seketika doa-doa itu menemui waktunya, menemui masanya.” 

Senja pada pertemuan-pertemuan hari ini, sempat mempertemukan wajah-wajah dalam gedung-gedung. Ada berbagai macam ekspresi. Senang, sedih, gelisah. Menyatu pada tembok-tembok ruangan, kelas, koridor.

Siang tadi, pesan singkatmu masuk. Baiklah, kita akan bertemu lagi (setelah kali terakhir bertemu jumat lalu), sore nanti. Mungkin akan ada lagi perbincangan hangat dan cerita lucumu yang bisa kunikmati hari ini, pikirku.

Padahal, ketika waktu menyorot ke belakang, hanya ada hitungan bulan-bulan kita saling mengenal. Bukan tahun.

Ya. Dan ternyata takdir sungguh sangat tegas menghampiri waktumu, Dik.

Sore tadi, ketika masih ingin menahanmu lebih lama untuk banyak bercerita, gelisahmu sungguh sangat nampak. Juga semakin memucatkan warna disisi-sisi bibirmu. Ada sesuatu yang membuatmu gelisah, Dik.

Dan firasat ternyata bukan menjadi hal yang bisa mencegahmu.

“Saya buru-buru, Kak. Ada amanah yang menunggu. Padahal rasanya masih rindu dengan Kakak. ” Katamu, sambil menjabat tanganku dan memeluk tubuh kurusku. Erat. Erat sekali.

“Senin depan kita ketemu lagi ya, Kak. Saya mau banyak tahu tentang FLP.”

Ah, setiap bertemu, barisan pena itu yang selalu kau tanyakan. Itu inginmu, yang sudah sejak dua tahun kau impikan, bisa bergabung bersama dikeluarga barisan pena. Mencipta karya-karya sastra. Bahkan pun, inginku membaca puisi-puisi yang pernah kau buat dan kau ceritakan, ternyata pula tidak bisa menemui masanya.

Itu inginmu sejak dua tahun lalu. Bahkan mungkin, sejak segan itu ada saat kata-kata dan senyum perkenalan yang sudah lama ingin kau lontarkan pada sikapku yang dingin.

“Wah, ternyata kalau sudah kenal, kakak beda ya? Dulu waktu belum kenal, kakak kelihatannya cuek dan jutek dengan saya.”

Jumat lalu kau berceloteh seperti itu, dan kujelaskan pula dengan banyak tawa. Kita sama-sama tertawa menengahi sikapku yang tidak sepenuhnya seperti kau katakan.

Dan harapan untuk bisa bercerita lebih banyak lagi disenja tadi, pupus sudah. Dan takdir telah benar-benar menjemputmu diujung Jumat ini.

Namun  hanya bisa menjanjikan waktu untuk bertemu lagi dirabu depan.
” Sekalian mengurus tetek bengek tugas akhir kampus.” Ujarku.
 Iya, dan kau mengiyakan. Tapi ada ragu yang kulihat.
“Nanti dikabari lagi ya, Kak. Kakak semangat, harus lulus tahun ini!” ucapmu yang selalu disertai senyuman manis.

Mendapat semangat ditengah-tengah kepenatan dalam berhadapan tugas akhir, serasa seperti ada yang menegukkan air di sela-sela kejenuhan.

Dan deras hujan membungkus malam ini, membawa kabarmu padaku, Dik. Kabar yang tidak pernah disangka akan mendatangi. Kabar yang dirasa akan banyak menguras buliran air dari mata siapa pun yang mengenalmu. Terkecuali mata kakakmu ini.

Innalillahi Wainna Ilaihi Rojiun….

Dan dedaunan catatan dalam Lauh Mahfudz telah gugur. 

Semoga Jannah yang kau raih, Dik Suryaningsih (Si Perindu).

Lafadz doa dikirimkan untukmu.



 Dalam pelukan duka,

Makassar, 24 April 2015.

Rabu, 15 April 2015

Monolog Rindu 10: Maple

Mengejar mimpi, tak semudah kau memimpikan dan memunculkannnya dalam batok kepala dan sugestimu. Mengejar mimpi, sama saja mendapati kejutan-kejutan yang beberapa diantaranya bisa saja menyakitkan langkahmu.”



“Bunuh saja mimpi itu, lalu kuburkan dalam-dalam. Jika sama sekali tidak ada usaha yang kau segerakan.”

Menusuk sekali. Bukankah itu dulu yang pernah kau lontarkan, ketika harapan-harapan itu telah pupus dan putus asa itu diam-diam datang dengan seringainya?

Ternyata bukan. Bukan lagi erangan seperti itu yang menjadikan lecutan semangat itu kembali bangun. Iya. Bukan lagi.

Lantas?

Ada yang mesti saya raih. Ah, saya? Bukan kita lagi?

Bukan.

Baiklah. Segala mimpi dan impian yang dulu, dulu pernah ditunaskan saat itu. Saat ini bukan lagi mimpi yang mesti menjadi harapan-harapan yang harus ada dalam tujuan hidup.

Bukan lagi.

Ya, meskipun banyak yang mengatakan, bahwa ketika kamu memiliki harapan dan impian, sama saja kau memiliki tujuan hidup. Tidak mengalir seperti biasanya.

Pahamilah. Ada yang masih mesti saya raih sebelumnya.

Sebelum mengejar impian memijakkan kaki di ranah maple bermusim.

Raih?

Apa itu?

Ini tentang sebuah kelokan yang tidak disangka-sangka, tepatnya.

Ini tentang mimpi yang dulu, dulu sekali.

Dan atmosfirnya mulai kembali berkelabat ketika semua yang kita sebut mimpi, impian, mulai bercahaya satu per satu.

Pahami.

Sebab meraih itu, adalah mencapai segala-galanya, tanpa sesal, tanpa keluh, namun mengabadi.

Ingin kau tahu?

Iya.

Rindu itu.

Rindu kembali pada pelukan-Nya.

Rindu yang mesti segera dituntaskan.

Menjelang petang,

Makassar, April 2015

Senin, 13 April 2015

Monolog Rindu 9: Kekanak


Mungkin, saat ini kita telah lelah, pada derap-derap  harap yang dibuai waktu.

Mungkin, kita telah jengah pada jiwa-jiwa kita, yang dulu pernah hanya banyak bicara.

Mungkin, pula, pernah ada kisah-kisah yang telah kita lewatkan, seiring keraguan-keraguan yang dulu, dan selalu saja berusaha kita pahami bersama.
….

Ketika bulan-bulan penghujan saat itu datang berbaris-baris.

Ditangan-tangan hujan yang basah, sekali waktu ada potongan gerak yang menunjukkan tawa-tawa pada rerintik.

Dari bujukan dalam rumah, payung warna-warni yang mengembang, punggung yang menjauh dari riuh hujan, pundak tegap, wibawa kebapakan, dan penerimaan dekapan perempuan yang hangat dilapisi handuk lembut.

Dulu, pada penerimaan-penerimaan riang bersama angin dan hujan, pernah ada deretan-deretan mimpi dan harap-harap yang berubah-ubah.

Dulu, dari setiap rengekan-rengekan, selalu ada tumpukan-tumpukan ingin, yang dalam durasinya menunggu ditemui pada masanya.

Dulu, dari ratap-ratap yang bersusun pada jelang lelap, elusan-elusan doa mengalir melalui ubun-ubun kecil yang bertaut selimut.

Sedang pada waktunya yang saat ini telah mendewasa, menatap apa yang menjadi sangsi, adalah selesapan ragu pada langkah-langkahnya yang terlalu jauh menapak. Terlalu jauh menghindar.

Menemui pesan ibu, sesungguhnya hidup adalah tak mudah, hidup adalah menerima, hidup adalah memberi, hidup adalah semua yang dicecap, walau tak suka.

Ketika jarak disuatu waktu mengiris rindu,  

Tatapi tumpukan-tumpukan waktu yang pernah memberi ruang, untuk hadir dalam kasih dan kasih.


Sebab mendewasa adalah niscaya,

Makassar, Pebruari-April 2015


Jumat, 10 April 2015

Ini Harimu, Dik!

“Mesti. Dan akan selalu ada impian yang kita semogakan. Bahkan dalam sisa-sisa usia yang tidak terbilang.”

Mengenalmu, telah menjadikan mimpi-mimpi yang pernah tertanam, memulai mengecambah.

Setelah tahunan terlewati dan putus asa itu pernah mendekati.

Mengenalmu, mungkin adalah takdir yang telah disusun-Nya dengan apik, dalam bingkai persaudaraan.

Ini harimu, Adik.

Saat usia yang terlewati, menunjukkan langkah-langkahmu yang kian panjang dan jauh.

Dua puluh dua tahun yang terlewati.

Rahma Hidayah Shaliha…

Semoga doa-doa keshalihan dirimu tetap melekat dibalik namamu. Dan menjadi sebaik-baik perhiasan dunia.

Adik yang begitu antusias mengejar mimpi, bahkan masih pada saat-saat mengeja mimpi dalam rangkak.

Adik yang harapnya begitu luas.

Tentang mimpi-mimpi(ku) yang sekarang juga menjadi mimpi-mimpi (kita), tetaplah seperti itu,Dik.

Tetaplah rawat harapan-harapanmu dalam genggaman Yang Maha Kasih.

Tetaplah menjadi perempuan yang selalu banyak belajar dan mendewasa.

Ini harimu, Adik.

Ada banyak doa-doa indah untukmu, yang disemogakan hari ini. Dan telah direngkuh-Nya kuat-kuat.

Sepenuh Cinta
Makassar, 5 April 2015



Barakallah. Sanah Helwah. Gute zum Geburtstag. Yaumul Milad. Adinda Sholehah-ku sayang! :*