Disadari
atau tidak, semua kisah akan menemui masanya. Tiap-tiapnya akan bertemu pada
takdir yang entah. Jelaslah, semua kaki-kaki kisah akan terhenti pada waktu
yang telah ditetapkan, pada takdirnya.
Padamu,
dan sepenggalan kisah waktu itu. Yang tak mampu lagi tertolak. Sudah tergores
pada lembaran-lembaran hidup.
Pada apa
yang akhirnya terciptakan pertemuan-pertemuan?
Mungkin,
mungkin saja hati ini selalu sangsi pada hal yang mengejutkan. Pada segala
macam bentuk peristiwa yang terkadang belum bisa dipahami nalar. Tetapi, apakah
lebih baik mengikuti hati dibandingkan takdir, yang jelas tampak dan tujuannya?
Sempat
kutanyakan ini pada sesiapa pun yang paham. Katanya, “Pilihlah pada
kecenderungan hatimu. Mantapkan pada sujud-sujud istikharahmu. Sebab tak semua
ikatan bisa terjalin dan bertahan hanya bermodal perasaan ataupun cinta. Menunda
niat itu, tak baik. Bisa jadi setan telah menghalangi untuk ibadah.”
Kecenderungan.
Apakah yang dimaksud kecenderungan itu adalah pada seseorang yang telah lama
ada? Seseorang yang tidak asing, yang pernah menyimpan harapan-harapannya dalam
bilangan tahun?
Ataukah
kecenderungan itu ada pada seseorang yang sama sekali hadirnya tidak pernah disangka?
Dan,
ah. Tetiba saja merasa belum waktunya menyadari itu.
Sudah
siapkah diri ini menjalin ikatan sakral yang (dulu) pernah selalu diingkari
hanya dengan dalih ‘belum siap’?
“Tak perlu kata siap, jika takdir
sudah berbicara. Bukankah setiap kelahiran dan kematian juga tidak
pernah meminta dan menunggu kata siap? Begitu pula takdir yang ini. Kau tak
bisa menolak, jika takdir telah memilih waktu dan memilihmu. Kamu hanya butuh
meyakinkan diri dan ridha atas ketetapan-Nya.”
“Kenapa mesti menolak jika dia
orang yang soleh?”
Itu
ucap dua orang perempuan, yang usianya tak seluas dewasanya yang lebih lapang. Lantas
ucap mereka sejak saat itu, telah mengubah dalihku saat ini.
Padamu,
yang kelak menjadi Kita….
Salahkah
jika kutuliskan ini untukmu?
Padamu,
yang kelak menjadi Kita….
Kutuliskan
ini, ketika menemukanmu adalah abstrak. Ketika risau itu pernah mendekat.
Padamu,
yang kelak menjadi Kita….
Tahukah
kau, bahwa diwaktu-waktu ini, memilih untuk menaruh harap padamu (seseorang
yang entah) adalah hal yang naif menurutku? Bahkan belum pernah ada sekelebat
pun rupa wajah yang tergambar dibenakku, tentangmu.
Padamu,
yang kelak menjadi Kita….
Meski,
memang pernah ada seseorang yang menaruh harap dan kujauhkan kecenderungan itu padanya.
Tetapi tetap, tetap saja hati ini belum bisa memijak pada kecenderungan sesiapa
pun. Meskipun yang ditunjukkan-Nya masih seperti serabun embun-embun yang
menempel di jendela.
Padamu,
yang kelak menjadi Kita….
Akhirnya
menyadari, bahwa memutuskan untuk menjemput takdir itu, adalah sebaik-baik
pilihan. Cepat ataupun lambat.
Padamu,
yang kelak menjadi Kita….
Saat
ini, (bukan nanti) kutunggu kau menjemputku diantara cemas-cemas yang meraba
hadirmu. Ya, jika waktu telah menunjukkan takdir dibulan dan ditahun ini juga. Akan
kutunggu.
Padamu,
yang kelak menjadi Kita….
Harapku
tak banyak. Tetap baikkan dirimu. Seperti aku yang juga sedang memantaskan diri,
untukmu.
Padamu,
yang kelak menjadi Kita….
Biarkan,
biarkan doa-doaku mengalir disungai-sungai harapmu. Dan juga harap pada-Nya.
Disela keputusan-keputusan, hujan,
dan sesapan secangkir sekoteng
Makassar-Pinrang,
akhir April-Mei 2015