Jumat, 24 Agustus 2012

Tergugu oleh Buku: Sisi Lain Tentang Pendidikan


Pagi menjelang siang. Entahlah, hal apa yang mendorong saya untuk menulis ini. Saat-saat menjelang dhuhur yang selesai diguyur hujan (waktu yang sering membuat malas), biasanya saya akan terlelap dan akan bangun ketika waktu menunjukkan waktu sangat siang (sekitar pukul 1-2 siang). 



Baiklah. Mungkin sebagian besar yang melihat gambar di atas akan bertanya. Indonesia Mengajar? Apa itu Indonesia Mengajar? Saya yakin, pertanyaan ini yang lumrah hadir di benak orang yang baru saja atau bahkan tidak tahu sama sekali tentang Indonesia Mengajar.  
Hmm…. Saya tidak akan menjelaskan secara panjang lebar dan lebih mendetail tentang Indonesia Mengajar (judul buku baru yang saya miliki ini). Tetapi, saya akan berbagi untuk kau, kamu, engkau, dikau, mereka, atau bahkan dia (maaf, kalau ini berlebihan.hhe..) cerita tentang buku ini.
Bermula, tepat ketika awal bulan Ramadhan (lebih tepatnya lagi beberapa hari sebelum Hari Anak Nasional) melalui sebuah jejaring sosial di internet (baca: facebook), terpampang sebuah pengumuman dari salah satu fanpage (Indonesia Mengajar). Pengumuman yang berupa lomba menulis surat untuk anak-anak Indonesia, dalam rangka memeringati Hari Anak Nasional pada  tanggal 23 Juli.
Surat? Ehem, saya tidak menampik bahwa sebagian besar orang yang memiliki jenjang pendidikan yang hampir setara (bahkan dibawah) dengan jenjang pendidikan yang saya lalui saat ini, menulis surat adalah sesuatu hal yang sangat mudah bin gampang (tanpa perlu berpikir banyak) dalam sebuah proses menulis.  
Tetapi, entahlah. Saya bahkan cukup heran dengan niat saya untuk mengikuti lomba ini (bahkan sempat men-share ke beberapa teman tentang info lomba ini). Suatu hal yang tidak biasa, ketika saya lebih memilih untuk mengikuti lomba menulis cerpen, esai, atau menulis puisi (jika ada). Mungkin saja saya mencari pelampiasan atas kerinduan pada murid-murid kecil, ditempat saya mengajar (bekerja) karena selama ramadhan, kegiatan belajar-mengajar diliburkan total.
Lagi, saya dibuat bingung ketika akan menulis surat yang akan diikutkan lomba ini. Saya bingung harus menulis tentang apa (karena ini kali pertama saya mengikuti jenis lomba ini). Karena pada intinya, saya akan menulis surat untuk anak-anak Indonesia,  tepat di hari mereka, Hari Anak Nasional.
Setelah beberapa saat tertegun, mencari inspirasi, dan mengutak-atik (mengacak-acak) isi netbook saya, akhirnya tercetus sebuah judul untuk surat yang akan saya kirimkan. Sekolah untuk Ananda yang Berteman dengan Aksara Terbalik (judul yang cukup dan sangat panjang, memang). Jika ingin membaca isi suratnya, sila buka arsip blog ini pada tanggal 23 Juli 2012.
Tak perlu menunggu waktu lama untuk mengetahui hasil pengumuman lomba ini. Dan Alhamdulillah, karena keyakinan dari awal, surat saya masuk dalam lima karya terbaik berdasarkan hasil penilaian dari tim penilai (juri). Bahagia? Tentu. Bahagia, karena akhirnya sebuah kekalutan (ibu saya tentang anak didiknya) yang terpendam beberapa tahun terakhir, dapat terlampiaskan dalam sebuah tulisan (hal yang juga melatarbelakangi saya untuk menggeluti dunia pendidikan, kelak).
Tetapi, tak hanya itu. Saya juga bahagia (sangat) ketika tahu bentuk apresiasi yang diberikan pihak Indonesia Mengajar adalah sebuah buku (lengkap dengan tanda tangan ketua Indonesia Mengajar, Bapak Anies Baswedan, juga merchandise yang sangat menarik). 


Jujur, ini adalah satu-satunya euforia kemenangan yang sangat berkesan dan tidak akan terlupakan, dibandingkan euforia-euforia kemenangan lain yang pernah saya rasakan dari tulisan-tulisan saya. Mengapa?
Pertama, karena bentuk apresiasinya adalah sebuah buku (euforia yang paling saya sukai adalah mendapat buku yang tentunya gratis atau cuma-cuma.hhee..). Tetapi bukan hanya itu. Buku yang saya dapatkan ini, yang dibubuhi tanda tangan Bapak Anies Baswedan (ini lebih membahagiakan, dibanding mendapat tanda tangan penulis yang saya miliki bukunya), seketika membuat rasa sakit hati, kekesalan, dan penyesalan saya (karena sudah tiga kali batal mengikuti acara yang notabenenya menghadirkan Bapak Anies Baswedan yang saya kagumi pemikiran-pemikirannya tentang pendidikan, di Makassar) langsung lenyap, melayang. 



Kedua, ada nilai lebih yang saya dapatkan setelah membaca buku ini. Walaupun sesungguhnya saya tidak cukup tertarik dengan buku jenis ini (kisah inspiratif) ketika di toko buku lebih banyak melirik dan memperhatikan buku-buku jenis sastra (fiksi), agama (islami), sosial, budaya, bahasa, pendidikan, dan motivasi. Entahlah (lagi), saya sama sekali tidak percaya dan cukup terperangah karena merasa sangat mendalami ketika membaca buku ini.
Saya hanya tidak bisa membayangkan, membaca buku ini dalam waktu tepat sepekan (berisi hampir lima ratus halaman), yang merupakan waktu paling lama saya membaca buku. Padahal, kemampuan membaca saya pada buku sekitar empat ratus halaman, kira-kira habis hanya dalam waktu dua sampai tiga hari (kalau sedang giat-giatnya membaca). Ehm….mungkin saja saya terlalu meresapinya.
Sampai-sampai ketika membaca, saya dibuat terharu dan menitikkan air mata. Menangis? Ya, ini adalah kali pertama saya menangis ketika membaca buku apapun (bahkan novel yang mengharu biru pun, menurut saya bisa kalah karena buku ini).
Ketiga, awal saya melihat buku ini, saya menganggap tidak begitu istimewa. Tetapi, setelah membacanya, Subhanallah! Saya banyak belajar tentang arti hidup dari buku ini. Tentang arti keikhlasan, kesabaran, kasih sayang, tanggung jawab, kerja keras, pengorbanan, saling menghormati, kreatifitas, dan nilai-nilai kemanusiaan lainnya. Saya banyak belajar dalam menghadapi anak-anak, tentunya. Banyak belajar dengan ‘jiwa-jiwa’ kecil mereka (anak-anak).
 Serta pengabdian. Pengabdian pada negara tercinta, bentuk patriotisme dari para anak muda (terbaik) yang rela meninggalkan hiruk-pikuk dan kenikmatan ibu kota, hanya untuk mendidik dan mengasah permata-permata kecil yang belum ‘nampak’ dari bagian terluar pulau (terpencil) Indonesia. Ini yang membuat saya terharu, sekaligus menjadi beban moral saya sebagai seorang yang terdidik.
Saya semakin tersadar, karena selama ini hanya bisa mengeluhkan segala sesuatu tentang pendidikan. Menyalahkan pemerintah dan keadaan. Selalu seperti itu. Tetapi, setelah membaca buku ini, jujur saya semakin sadar. Tak ada lagi waktu untuk hal itu. Ya. Karena ada sebuah beban moral, turut mencerdaskan kehidupan bangsa. Dimana pun itu, dan kapan pun.
Teringat pula sepotong tulisan sinopsis (yang sempat pula saya share di timeline fb saya) dari buku ini: 

Sekarang bukan waktunya lagi untuk mengeluh, mengasihani, atau menghujat pemerintah. Lebih baik menyalakan lilin daripada terus-menerus mengutuki kegelapan. Kini waktunya beraksi, bersama berkontribusi membangun negeri dengan mencerdaskan kehidupan bangsa. Bukankah mendidik adalah tugas semua orang terdidik?

Inilah yang membuat saya tergugu. Tak bisa bisa menampik. Baru kali ini berpikir berulang-ulang pada apa yang telah saya baca. Setelah membaca buku ini, saya baru saja tahu dan (akan) ikut serta dalam konsep idealisme pendidikan (ini janji saya!). Ini pula yang telah membuka mata saya lebar-lebar pada arti pendidikan sesungguhnya. Bukan pada dunia pendidikan yang selama ini terhujat oleh orang-orang terdidiknya (baca: mahasiswa) yang selama ini selalu saja meresahkan.
Lebih banyak bertindak dibandingkan banyak omong besar (baca:merusak). Memberikan perubahan adalah sesuatu hal yang sangat penting daripada terus menceracau keburukan suatu hal (pendidikan) tanpa memberikan solusi. Ya, itu harapan saya selama ini. Bukan menjadikan pendidikan jadi terbelakang dan membicarakannya dengan melulu masalah. Bukan pula pendidikan dengan banyak menuntut terpenuhinya fasilitas dalam hal belajar-mengajar. Tetapi, pendidikan adalah dengan banyak memberi, bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya*. Tentunya dengan menyebarkan sisi-sisi positif dari segala kekurangan dan ketakberdayaan yang ada.
Oh, iya. Setelah membaca buku ini, sebuah tulisan langsung saya rangakai tepat di bagian bawah tanda tangan bapak Anies Baswedan:

“Nantikan (kelak) kehadiran calon ibu gurumu ini, Nak. Insya Allah, sang Pemilik Waktu akan mengizinkan kita mengukir kenangan-kenangan indah yang istimewa, bersama di suatu saat nanti.”
-Ismi Kurnia Dewi Istiani-  :)

            Semoga!


Di sisa-sisa rinai siang,
Pinrang, 24 Agustus 2012


*Tulisan dari novel Sang Pemimpi (Andre Hirata)

Sabtu, 04 Agustus 2012

Ini Masih Tentang Waktu


Ini masih tentang waktu
Masa
Selalu saja ada pijak-pijak lengang yang tak teracuh
Selalu ada lekuk-lekuk rasa
Selalu
Tentang napas-napas yang berarti
Berarti saat itu bermakna memberi
Memberi
Cerah, riang, bahagia, muram, sedih, gundah, risau, geram, amarah
Beribu-ribu makna dalam kisah warna
Warna
Mengapa ada tanya?
Itulah hidup
Kehidupan
Abadi?
Hanya fana.



VAA Makassar, 3-4 Agustus 2012/ 16 Ramadhan 1433
Menjelang milad yang ke-20