Pagi menjelang siang. Entahlah, hal apa yang
mendorong saya untuk menulis ini. Saat-saat menjelang dhuhur yang selesai
diguyur hujan (waktu yang sering membuat malas), biasanya saya akan terlelap
dan akan bangun ketika waktu menunjukkan waktu sangat siang (sekitar pukul 1-2
siang).
Baiklah. Mungkin sebagian besar yang melihat gambar
di atas akan bertanya. Indonesia Mengajar? Apa itu Indonesia Mengajar? Saya
yakin, pertanyaan ini yang lumrah hadir di benak orang yang baru saja atau
bahkan tidak tahu sama sekali tentang Indonesia Mengajar.
Hmm…. Saya tidak akan menjelaskan secara panjang
lebar dan lebih mendetail tentang Indonesia Mengajar (judul buku baru yang saya
miliki ini). Tetapi, saya akan berbagi untuk kau, kamu, engkau, dikau, mereka,
atau bahkan dia (maaf, kalau ini berlebihan.hhe..) cerita tentang buku ini.
Bermula, tepat ketika awal bulan Ramadhan (lebih
tepatnya lagi beberapa hari sebelum Hari Anak Nasional) melalui sebuah jejaring
sosial di internet (baca: facebook), terpampang sebuah pengumuman dari salah
satu fanpage (Indonesia Mengajar). Pengumuman yang berupa lomba menulis surat
untuk anak-anak Indonesia, dalam rangka memeringati Hari Anak Nasional pada tanggal 23 Juli.
Surat? Ehem, saya tidak menampik bahwa sebagian
besar orang yang memiliki jenjang pendidikan yang hampir setara (bahkan
dibawah) dengan jenjang pendidikan yang saya lalui saat ini, menulis surat
adalah sesuatu hal yang sangat mudah bin gampang (tanpa perlu berpikir banyak)
dalam sebuah proses menulis.
Tetapi, entahlah. Saya bahkan cukup heran dengan
niat saya untuk mengikuti lomba ini (bahkan sempat men-share ke beberapa teman
tentang info lomba ini). Suatu hal yang tidak biasa, ketika saya lebih memilih untuk
mengikuti lomba menulis cerpen, esai, atau menulis puisi (jika ada). Mungkin
saja saya mencari pelampiasan atas kerinduan pada murid-murid kecil, ditempat
saya mengajar (bekerja) karena selama ramadhan, kegiatan belajar-mengajar
diliburkan total.
Lagi, saya dibuat bingung ketika akan menulis surat
yang akan diikutkan lomba ini. Saya bingung harus menulis tentang apa (karena
ini kali pertama saya mengikuti jenis lomba ini). Karena pada intinya, saya
akan menulis surat untuk anak-anak Indonesia,
tepat di hari mereka, Hari Anak Nasional.
Setelah beberapa saat tertegun, mencari inspirasi,
dan mengutak-atik (mengacak-acak) isi netbook saya, akhirnya tercetus sebuah
judul untuk surat yang akan saya kirimkan. Sekolah
untuk Ananda yang Berteman dengan Aksara Terbalik (judul yang cukup dan
sangat panjang, memang). Jika ingin membaca isi suratnya, sila buka arsip blog
ini pada tanggal 23 Juli 2012.
Tak perlu menunggu waktu lama untuk mengetahui hasil
pengumuman lomba ini. Dan Alhamdulillah, karena keyakinan dari awal, surat saya
masuk dalam lima karya terbaik berdasarkan hasil penilaian dari tim penilai
(juri). Bahagia? Tentu. Bahagia, karena akhirnya sebuah kekalutan (ibu saya
tentang anak didiknya) yang terpendam beberapa tahun terakhir, dapat
terlampiaskan dalam sebuah tulisan (hal yang juga melatarbelakangi saya untuk
menggeluti dunia pendidikan, kelak).
Tetapi, tak hanya itu. Saya juga bahagia (sangat)
ketika tahu bentuk apresiasi yang diberikan pihak Indonesia Mengajar adalah
sebuah buku (lengkap dengan tanda tangan ketua Indonesia Mengajar, Bapak Anies
Baswedan, juga merchandise yang sangat menarik).
Jujur, ini adalah satu-satunya euforia kemenangan
yang sangat berkesan dan tidak akan terlupakan, dibandingkan euforia-euforia
kemenangan lain yang pernah saya rasakan dari tulisan-tulisan saya. Mengapa?
Pertama,
karena bentuk apresiasinya adalah sebuah
buku (euforia yang paling saya sukai adalah mendapat buku yang tentunya gratis
atau cuma-cuma.hhee..). Tetapi bukan hanya itu. Buku yang saya dapatkan ini,
yang dibubuhi tanda tangan Bapak Anies Baswedan (ini lebih membahagiakan,
dibanding mendapat tanda tangan penulis yang saya miliki bukunya), seketika
membuat rasa sakit hati, kekesalan, dan penyesalan saya (karena sudah tiga kali
batal mengikuti acara yang notabenenya menghadirkan Bapak Anies Baswedan yang
saya kagumi pemikiran-pemikirannya tentang pendidikan, di Makassar) langsung lenyap, melayang.
Kedua,
ada nilai lebih yang saya dapatkan
setelah membaca buku ini. Walaupun sesungguhnya saya tidak cukup tertarik
dengan buku jenis ini (kisah inspiratif) ketika di toko buku lebih banyak
melirik dan memperhatikan buku-buku jenis sastra (fiksi), agama (islami),
sosial, budaya, bahasa, pendidikan, dan
motivasi. Entahlah (lagi), saya sama sekali tidak percaya dan cukup terperangah
karena merasa sangat mendalami ketika membaca buku ini.
Saya hanya tidak bisa membayangkan, membaca buku ini
dalam waktu tepat sepekan (berisi hampir lima ratus halaman), yang merupakan
waktu paling lama saya membaca buku. Padahal, kemampuan membaca saya pada buku
sekitar empat ratus halaman, kira-kira habis hanya dalam waktu dua sampai tiga
hari (kalau sedang giat-giatnya membaca). Ehm….mungkin saja saya terlalu
meresapinya.
Sampai-sampai ketika membaca, saya dibuat terharu
dan menitikkan air mata. Menangis? Ya, ini adalah kali pertama saya menangis
ketika membaca buku apapun (bahkan novel yang mengharu biru pun, menurut saya
bisa kalah karena buku ini).
Ketiga,
awal saya melihat buku ini, saya
menganggap tidak begitu istimewa. Tetapi, setelah membacanya, Subhanallah! Saya
banyak belajar tentang arti hidup dari buku ini. Tentang arti keikhlasan,
kesabaran, kasih sayang, tanggung jawab, kerja keras, pengorbanan, saling
menghormati, kreatifitas, dan nilai-nilai kemanusiaan lainnya. Saya banyak
belajar dalam menghadapi anak-anak, tentunya. Banyak belajar dengan ‘jiwa-jiwa’
kecil mereka (anak-anak).
Serta
pengabdian. Pengabdian pada negara tercinta, bentuk patriotisme dari para anak
muda (terbaik) yang rela meninggalkan hiruk-pikuk dan kenikmatan ibu kota,
hanya untuk mendidik dan mengasah permata-permata kecil yang belum ‘nampak’
dari bagian terluar pulau (terpencil) Indonesia. Ini yang membuat saya terharu,
sekaligus menjadi beban moral saya sebagai seorang yang terdidik.
Saya semakin tersadar, karena selama ini hanya bisa
mengeluhkan segala sesuatu tentang pendidikan. Menyalahkan pemerintah dan
keadaan. Selalu seperti itu. Tetapi, setelah membaca buku ini, jujur saya
semakin sadar. Tak ada lagi waktu untuk hal itu. Ya. Karena ada sebuah beban
moral, turut mencerdaskan kehidupan bangsa. Dimana pun itu, dan kapan pun.
Teringat pula sepotong tulisan sinopsis (yang sempat
pula saya share di timeline fb saya)
dari buku ini:
Sekarang
bukan waktunya lagi untuk mengeluh, mengasihani, atau menghujat pemerintah.
Lebih baik menyalakan lilin daripada terus-menerus mengutuki kegelapan. Kini
waktunya beraksi, bersama berkontribusi membangun negeri dengan mencerdaskan
kehidupan bangsa. Bukankah mendidik adalah tugas semua orang terdidik?
Inilah yang membuat saya tergugu. Tak bisa bisa menampik. Baru kali ini berpikir berulang-ulang pada apa yang telah saya baca.
Setelah membaca buku ini, saya baru saja tahu dan (akan) ikut serta dalam
konsep idealisme pendidikan (ini janji saya!). Ini pula yang telah membuka mata
saya lebar-lebar pada arti pendidikan sesungguhnya. Bukan pada dunia pendidikan
yang selama ini terhujat oleh orang-orang terdidiknya (baca: mahasiswa) yang
selama ini selalu saja meresahkan.
Lebih banyak bertindak dibandingkan banyak omong besar
(baca:merusak). Memberikan perubahan adalah sesuatu hal yang sangat penting
daripada terus menceracau keburukan suatu hal (pendidikan) tanpa memberikan
solusi. Ya, itu harapan saya selama ini. Bukan menjadikan pendidikan jadi
terbelakang dan membicarakannya dengan melulu masalah. Bukan pula pendidikan
dengan banyak menuntut terpenuhinya fasilitas dalam hal belajar-mengajar.
Tetapi, pendidikan adalah dengan banyak
memberi, bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya*. Tentunya dengan menyebarkan
sisi-sisi positif dari segala kekurangan dan ketakberdayaan yang ada.
Oh, iya. Setelah membaca buku ini, sebuah tulisan
langsung saya rangakai tepat di bagian bawah tanda tangan bapak Anies Baswedan:
“Nantikan
(kelak) kehadiran calon ibu gurumu ini, Nak. Insya Allah, sang Pemilik Waktu
akan mengizinkan kita mengukir kenangan-kenangan indah yang istimewa, bersama
di suatu saat nanti.”
-Ismi Kurnia Dewi
Istiani- :)
Semoga!
Di
sisa-sisa rinai siang,
Pinrang,
24 Agustus 2012
*Tulisan dari novel Sang Pemimpi (Andre Hirata)