Rabu, 27 Januari 2010

Tetes Embun yang Tersisa



... Maafkan jika aku menolaknya. Jujur, aku merasa belum siap untuk menjalaninya. Kurasa sangat cepat jika hal itu terjadi. Aku bukanlah seorang yang mudah untuk menerima segalanya. Butuh waktu. Apalagi hal itu menyangkut perjalanan masa depanku. Sebuah masa lalu yang membuatku begini. Masa lalu yang kelam. Kurasa kau juga mengerti dalam memaknai perasaan itu. Tapi yang jelasnya, bagaimana agar kita dapat memahami satu sama lain, agar tak ada yang merasakan penyesalan di suatu saat. Sekali lagi, mohon maaf yang sebesar-besarnya...

***

Dengan hati-hati kumasukkan surat ini ke dalam amplop yang telah dibubuhi nama pengirim tanpa alamat yang ditujukan. Aneh memang. Tapi inilah yang terjadi sesungguhnya.
Setelah bersiap-siap, kulangkahkaan keluar rumah dan menuju tempatku menuntut ilmu, kampus jingga. Pagi ini, kulalui hari dengan cukup sibuk, mengikuti kuliah, mengerjakan tugas, hingga berembuk dalam pertemuan organisasiku. Maklumlah seorang aktivis memang begitu.
Tapi untuk hari ini, sedikit waktu harus diluangkan demi menyampaikan sesuatu yang harus diutarakan.
Setelah sibuk, sore ini planning menuju teman di samping kampus tetap tidak akan tertunda. Sudah dua hari tempat itu luput dari ingatanku. Jadi, rencana untuk menyampaikan surat itu pasti saja akan terjadi.

***
Udara sekitar kampus cukup sejuk. Awan gelap mulai tampak. Dengan berjalan kaki sekitar 350 meter, taman tempatku merenung dan menyendiri, mulai nampak.
Dengan perasaan yang tak keruan, kulangkahkan kaki menuju salah satu bangku beton di salah satu sisi taman. Taman yang sangat indah.
Di pusat taman terdapat kolam yang di tengahnya sebuah air mancur yang cantik. Pohon cemara bentuk pinus menghiasi jalan masuk menuju taman. Sore ini, pengunjung taman cukup sepi. Tapi aku sangat menyukai suasana saat ini. Lebih suka menyepi sendirian, sambil menatapi merpati-merpati liar yang memakan biji pohon.
Baru sekitar lima menit duduk, seorang bocah perempuan kecil, bermata bulat, rambutnya ikal, berkulit sawo matang, datang menghampiriku. Dengan senyum yang dihiasi gigi putih, ia menyapaku “Assalamu’alaikum kakak Nayla!”.
Seketika aku tersenyum menatap kedatangannya “ Wa’alaikum salam Caca manis.”
Setelah menyapa, ia langsung duduk disampingku, di tangannya ada sebuah amplop berwarna hijau muda, bercorak bunga kuning. Sangat manis. Warna yang sangat kusukai. Belum sempat aku bertanya, dia langsung nyerocos,
“ Kak, ini ada surat yang dibawa sama kakak laki-laki tadi siang. Tadi di duduk di bangku ini. Waktu liat aku, dia bilang mau menitipkan surat ini untuk diberikan sama kak Nayla. Jadi aku terima.”
Diberikannya surat itu padaku. Aku heran. Surat dengan nama pengirim berinisial ‘H’ itu ditujukan untukku. Sangat jelas alamat yang ditujukan. Nayla Nur Fatimah. Seketika aku terdiam. Tapi langsung menyimpan surat itu ke dalam tas.
“ Makasih ya Caca, oh ya! Kakak punya coklat nih, kita makan sama-sama yuk!”
Bermenit-menit kami menghabiskan waktu, mengobrol dengan topik yang menarik. Caca memamng sangat manis dan lucu. Aku sering dibuatnya tertawa dengan cerita yang dibawakannya dengan polos. Setiap kesini, ia selalu menghampiriku, berbagi cerita dengannya. Hampir setiap hari dia menemani ayahnya yang bekerja membersihkan taman ini. Dia sahabat kecilku yang kadang-kadang membuatku kembali merasakan indahnya masa kecil.

***

Hari semakin gelap. Seorang bapak setengah baya berjalan menghampiri kami, sambil memberikan isyarat, agar Caca ikut dengannya untuk pulang. Caca menurut. Dengan segera, ia turun dari bangku, dan berlari menuju ayahnya. Sejenak ia berbalik dan melambaikan tangan padaku, “Da-da kakak!”
Lambaian tangannya ku balas, ditambah dengan senyuman. Aku masih terpaku. Menatap dingin apa yang ada dihadapanku. Pikiranku masih mengawang. Angin membelai wajahku. Awan semakin gelap, menandakan hujan akan turun. Aku bangkit dari duduk. Sambil menatap di sekitar taman.Dengan tergesa-gesa, aku pulang. Di perjalanan, aku melamun. Pikiranku melayang.

***

” Hai Nay!” seruan itu mengagetkanku. Tepukan di pundak membuatku menoleh. Tina. Ternyata dia yang memanggilku.
“ Kenapa Tin? Kamu ngagetin aku aja! Ada apa sih?” aku heran.
“ Ee..ee.. kamu udah dengar gak berita duka hari ini?” seketika matanya berkaca-kaca.
“ Mmhh.. berita duka apa sih Tin?” aku semakin penasaran.
“ Itu, si Heri.. dia..dia..”
“ Dia apa Tin?”
“ Kemarin.. kemarin.. dia meninggal Nay! Kemarin siang, dia jadi korban tabrak lari. Pulang dari taman sebelah kampus, orang sekitar ngeliat dia melamun waktu menyeberang jalan. Setelah dibawa ke rumah sakit, nyawanya tidak tertolong lagi Nay!” bulir air matanya perlahan menetes.
“ Innalillahi wa inna lillahi roji’un..” hanya itu yang dapat kuucapkan, lidahku kelu. Tidak tahu harus berkata apa lagi. Setelah mengatakan itu, ia menarikku ke bawah pohon depan kelas. Dengan wajah yang serius, ia becerita sesuatu kepadaku. Yang sangat membuatku tidak percaya.
“ Nay, kamu kenal Heri khan?” aku mengangguk.
“ Kamu tahu nggak, almarhum Heri adalah orang yang cukup pendiam, gak banyak bicara, tapi dia sering ngomong sama aku, tentang kamu.” Keningku berkerut mendengarnya.
“ Aku?”
“ Ya, kamu Nayla. Sebenarnya, dia suka sama kamu. Dia juga pernah cerita, kalo kamu dengan dia sering berkirim surat, dan kadang mengamatimu dari jauh, di taman sebelah kampus. Selama ini dia tidak berani mengungkapkannya sama kamu. Jadi dia cuma cerita sama aku. Kemarin itu, dia ke taman untuk ngasih surat yang berisi perasaannya sama kamu. Tapi takdir berkata lain, setelah dia nunggu jawaban kamu, kamu malah kurang meresponnya. Nay. Akhirnya dia pergi, tanpa mendapat jawaban. Tadi malam dia meninggal. Selepas sholat Jum’at nanti dia dimakamkan.”
Air mataku menetes. Hanya diam.

***

Kurebahkan tubuhku. Sangat lelah, karena terlalu lama menangis. Aku berusaha menenangkan diri. Tiba-tiba aku tersentak duduk. Baru ingat dengan surat yang kemarin diberikan si ‘H’. Dengan perasaan yang kalut, dan cukup gundah, surat beramplop hijau muda bercorak bunga kuning itu kubuka perlahan, lalu membaca isinya:
           
            ... Sebelumnya, maaf jika aku sedikit memaksamu untuk mengatakannya. Maafkan juga jika ini membuatmu tertekan dan mungkin terlalu memikirkannya. Tapi percayalah, aku melakukan ini agar kita terlepas dari perbuatan dosa yang tidak diinginkan. Walaupun kau tidak menjawab sampai kapan pun, itu tidak masalah. Karena kamu juga manusia biasa, yang kadang sulit untuk mengungkapkannya. Namun yang jelasnya, dirimu akan selalu ku ingat di setiap pagiku, hingga tetes embun yang tersisa menguap ke angkasa.

                                                             Sahabat penamu,  
                                                        
                                                          (Heri Saputra)




Air mataku kembali menetes. Masih tidak percaya. Tapi inilah yang terjadi, semua telah berjalan.
Selamat jalan Heri sahabat penaku, semoga amal ibadah dan kebaikan-kebaikanmu diterima di sis-Nya. Amin.



Pinrang, 28 Desember 2009



~Ismi Kurnia Dewi Istiani~
(Perubahan)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan lupa tinggalkan jejak ^_^