Baiklah.
Akan ku goreskan sebagian kisah yang telah terlewati. Menggoreskan peristiwa
yang mungkin saja bisa ku(kau)kenang. Bukan karena sesuatu, inginku yang
menuliskan sebagian dari semuanya. Tapi hanya karena ingin mengabadikan
tiap-tiap yang telah digambarkan (juga) pada Lauh Mahfudz.
Tak ada
maksud menunjukkan keluh kesah. Tapi ini murni hanya ingin menyelesaikan
“tuntutan” atas tanggung jawab yang tak teracuh. Mungkin meninggalkan kenangan
dari jejak-jejak kata. Mungkin memberi jeda sejenak atas tiap-tiap cerita yang
terlewati. Ataupun mungkin menjadikan “tiga masa” ini tetap mengabadi. Dalam barisan kata.
Oktober. Ada
banyak kejutan yang hadir. Memacu adrenalin. Amanah, tanggung jawab, rasa tak
tahu-menahu, berpikir keras, berjuang. Mempertahankan sesuatu yang ada tetap
ada. Menyadari bahwa mencipta dan membentuk tak semudah mempertahankan.
Jika rasa
bangga itu masih ada pada almamater, dapat kujelaskan bahwa “malu” itu
mengikuti. Ada sejuta tanya yang menodong pada penyaksian anarki. Akan kukatakan
bahwa almamater oranye terluka. Begitu juga merasa terluka ketika harus membawa
nama almamater ini ke ranah kota keraton. Bangga? Tak! Bahkan ini masih
mengenai pertanggungjawaban.
Jika
ingin terjelaskan pada sebuah bentuk, peristiwa memisahkan beberapa keping. Yang
mungkin saja menjadikannya terpecah dibagian lain. Membuatnya tak utuh. Dan (mungkin
juga) tersesali oleh kerisauan Linn.
November.
Datang dengan berbagai tuntutan. Menghimpit, memaksa, meradang, lagi-lagi masih
tentang tanggung jawab (keberlangsungan amanah). Ada yang memihak dan
menyalahkan. Ada yang tak mengerti dan ada yang memahami. Ada yang peduli
bahkan apatis.
Semua dengan
rela terbendung. Karena keadaan. Dan waktu serta merta pun menunjukkan semua
hal yang tak pernah terkira.
Desember.
Bulan yang manis. Itu pernyataan mereka. Namun itu tak salah. Hanya saja desember
telalu kompleks. Manis, asam, asin, pahit. Kini desember hampir berlalu (lagi).
Tentang harap, kenangan, konflik, ketegangan, kebanggaan, kemenangan.
Desember
mengawali rasa cemas akan waktu yang semakin merambat. Kalian. Ya, kalian
(kita) telah memutuskan untuk membuat komitmen. Saling membahu. Saling berperan
dalam lakon. Lelah dan keluh juga menemani kita. Tentang harap pada kemenangan.
Kita menyatu dalam kata “trilogi” yang menyandingkan nama bulan ini. “Sebelah
Sayap” membentang pada malam klimaks sejak tiga bulan lalu kita mendalami.
Mendalami peran. Rasa. Jengah. Penat. Sama pula seperti diri ini. Bahkan jika
terlalu berlebihan, ingin mengutuk keadaan yang memeras peluh telalu kasar.
Namun,
lakon-lakon ciptaan kita berhasil. Satu, dua, dari kita mendapat gelar yang
mereka sebut “terbaik”. Sorai pun membahana malam itu. Tetapi semua tak bisa
mewakilkan atas rasa puas yang tergambar. Ah, dan hingga saat ini pun kita
masih betah memperbincangkan kisah-kisah itu dalam frasa “Sebelah Sayap”.
Rumah pesakitan.
Menjadi saksi pertemuan atas impian-impian kita. Yang sejatinya untuk melanjutkan
dan meneruskan tujuan untuk berbagi tanpa batas. Bukan memberi. Ada banyak
harap yang terlontar dari ucap yang menciptakan tempat kita. Ada optimisme yang
mempercayakan kita. Dan (lagi) sebuah amanah itu tersematkan untuk membimbing
dan mewujudkan karya nyata tentang kisah-kisah berbagi kita dalam susunan huruf
dan tumpukan halaman kertas.
Jika ingin
ditanya, apakah diri ini telah secara penuh (kembali) pada ikatan? Kembali untuk
memperjuangkan yang haq dan menghindari yang bathil? Masih siapkah diri ini
untuk kembali mengimplementasikan mengenai makna berlomba-lomba dalam
kebajikan? Dan masih siapkah jiwa, tubuh, dan pikiran ini berlaku adil terhadap
hak-hak religiusitas yang perlahan keruh?
Waktu yang
akhirnya menjawab, bahwa ikatan ini masih menerima sebuah perjuangan. Untuk menjadikannya
tetap hidup ditangan-tangan pasukan yang rela berkorban dijalan-Nya yang mampu
membawa dien. Setelah pertemuan tak terduga pada sesosok hawa. Yang mengupas
sisi-sisi negatif. Dan kali ini ego tertangguhkan pada janji untuk kembali datang
bersama membesarkan ikatan merah ini. Kembali, walau pernah (meninggalkan) untuk
sementara.
…..
Maka,
kutuliskan ini tak lain hanya untuk menjadikanmu(ku) tahu, bahwa kisah mampu
dikenang kembali dalam susunan huruf. Kisah tak mampu mengabadi jika hanya
sebatas terpendam dalam ingatan saja. Karena waktu juga tak mengabadi untuk menjadikan
kisah hadir dalam kenangan. Tulislah. Karena kata juga masih setia menemani
dalam batas-batas hidup hingga kini.
Desember 2012 - Januari 2013
Untukmu yang pernah kecewa mendapati
rumah ini kembali tak terawat
barisan huruf yang manis...!!
BalasHapuskadang dalam ketenangan sekali pun kita masih berpikir...
tak ada yang tahu kecuali kesendirian, tak ada tempat yang kita untuk diri kita sendiri selain perenungan..!!