Kamis, 10 Juli 2014

Monolog Rindu

            Menuliskan rindu, teringat dengan seorang yang tak pernah jemu menuliskan kata berlima huruf ini. Iya. Dan akhirnya rindu itu benar-benar merangkul, pada malam sebelum kepulangan. Rindu itu datang dengan senyumnya yang menjengah.

Meski pada rindu-rindu yang kemarin telah disambut ‘debat’ pada pilihan calon penguasa tahta negeri ini, tetapi sungguh rindu itu seketika mengeras membatu, Bu. Dan, tak semestinya masing-masing kita memilih untuk diam dingin pada ego.

Aih, sudahlah, Bu.

Diam-diam, ternyata ada sebuah rindu yang pernah kusembunyikan dari saku heningku.

Pernah menyimpan rindu itu, ketika memilih kewajaran dan menjadikannya sebagai sebuah hal yang ‘biasa-biasa’ saja, Bu.

Tetapi, entah. Di tengah sisa gerimis yang meniupkan malam kali ini, rindu itu menguat, Bu.

Rindu itu seperti menari-nari di kamarku, dibeberapa hari kumemilih untuk mengurung diri dari celoteh-celoteh rumah ini.

Ada sangat banyak yang pernah kulalui diluar sana, Bu.

Mungkin kau pun sadari, sekarang anakmu ini mulai cerewet, sok tahu, suka protes, sok benar.

Iya kan, Bu?

Ah, Bu. Dunia diluar sana sangat kejam.

Jikalau kautahu, mungkin tak sekejam yang pernah kaurasakan ketika juga pernah hidup diatas tanah kota itu, dulu sekali.

Dia lebih kejam, Bu.

Bahkan mungkin pernah mengiris-iris hati dan isi perut anakmu ini. Kekejamannya pernah menjadikan beberapa tangis dengan terpaksa disimpannya dalam senyum-senyum sok tegar. Menyimpannya dibalik beberapa hambar. Pernah pula menjadikan kedua kaki anakmu ini tak bisa diam, gelisah, Bu.

Ah, Bu.

Menuliskan ini, sebenarnya anakmu ini rindu. 
Sangat rindu.

Pada siapa?

Ingin kau tahu, Bu?

Iya, Bu. 

Anakmu ini rindu pada Pemilik Rindu, yang pernah disimpannya dalam saku hening.

Sangat rindu pada waktu tidur panjang yang mengembalikan pulang pada-Nya.


Pinrang, 10 Juli 2014





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan lupa tinggalkan jejak ^_^