Menuliskan rindu, teringat dengan seorang yang tak pernah jemu menuliskan kata
berlima huruf ini. Iya. Dan akhirnya rindu itu benar-benar merangkul, pada
malam sebelum kepulangan. Rindu itu datang dengan senyumnya yang menjengah.
Meski pada rindu-rindu yang
kemarin telah disambut ‘debat’ pada pilihan calon penguasa tahta negeri ini,
tetapi sungguh rindu itu seketika mengeras membatu, Bu. Dan, tak
semestinya masing-masing kita memilih untuk diam dingin pada ego.
Aih, sudahlah, Bu.
Diam-diam, ternyata ada sebuah
rindu yang pernah kusembunyikan dari saku heningku.
Pernah menyimpan rindu itu,
ketika memilih kewajaran dan menjadikannya sebagai sebuah hal yang ‘biasa-biasa’
saja, Bu.
Tetapi, entah. Di tengah sisa
gerimis yang meniupkan malam kali ini, rindu itu menguat, Bu.
Rindu itu seperti menari-nari di
kamarku, dibeberapa hari kumemilih untuk mengurung diri dari celoteh-celoteh
rumah ini.
Ada sangat banyak yang pernah
kulalui diluar sana, Bu.
Mungkin kau pun sadari, sekarang
anakmu ini mulai cerewet, sok tahu, suka protes, sok benar.
Iya kan, Bu?
Ah, Bu. Dunia diluar sana sangat
kejam.
Jikalau kautahu, mungkin tak
sekejam yang pernah kaurasakan ketika juga pernah hidup diatas tanah kota itu,
dulu sekali.
Dia lebih kejam, Bu.
Bahkan mungkin pernah
mengiris-iris hati dan isi perut anakmu ini. Kekejamannya pernah menjadikan beberapa
tangis dengan terpaksa disimpannya dalam senyum-senyum sok tegar. Menyimpannya
dibalik beberapa hambar. Pernah pula menjadikan kedua kaki anakmu ini tak bisa
diam, gelisah, Bu.
Ah, Bu.
Menuliskan ini, sebenarnya
anakmu ini rindu.
Sangat rindu.
Pada siapa?
Ingin kau tahu, Bu?
Iya, Bu.
Anakmu ini rindu pada Pemilik
Rindu, yang pernah disimpannya dalam saku hening.
Sangat rindu pada waktu tidur
panjang yang mengembalikan pulang pada-Nya.
Pinrang, 10 Juli 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan lupa tinggalkan jejak ^_^