Membiarkan oktober dalam kemarau. Satu keputusan
bijak dengan turut membiarkan persoalanmu pergi bersama angin dan debu-debunya.
Menatap, bahwa hidup tidak melulu menjadikanmu
cemas.
Seperti melesatkan waktu, rasa-rasa yang pernah kaucemaskan, sungguh, bukan perkara pahit untuk sekadar membincangkannya pada
perempuan-perempuan yang selama ini bersedia menyiapkan pendengarannya untuk
kaupinjam.
Perempuan,
dari semua kisah-kisah yang pernah menjejal otakmu,
adakah sedikit pun keyakinanmu luruh pada balasan waktu?
Bukankah yang pernah sering kaukatakan, sejauh
sepasang kakimu melangkah, pasti tetap akan kembali pulang pada langkah
pertama?
Perempuan,
Keberanianmu yang menegaskan rasanya, dia, yang
pernah hampir-hampir menggoyahkan pertahananmu, percaya saja, bahwa setiap hal
yang pernah berjarak akan dipertemukan pada satu waktu.
Tentang hari keenam dalam nopember tahun ini.
Meski lugumu sempat ingin kau tunjukkan pada
pertemuan siang itu, sepertinya itu tak perlu untuk sekedar kau putuskan
mengelak.
Menghindar?
Tak juga, perempuan.
Dia, yang pernah membawamu dalam gamang. Yang pernah
membawamu pada segala hal yang tidaklah mudah.
Pada pertemuan siang itu, pada perbincangan-perbincangan
ringan, yang sesungguhnya sama sekali tak menyangka.
Terkejutkah kau, perempuan?
Iya, tak menyangka, pada kali terakhir pertemuanmu terjadi ditiga tahun yang lalu, seingatmu.
Dan benar pada saat itu, siang menjelmakan dirimu
menjadi kelu. Mungkin tak pernah kausangka, bahkan pun menghadirkan pertemuan
itu dalam angan-anganmu.
Mengetahui, pada Juni kemarin, yang mengabarkan
dirinya pada berita gamang.
Lantas, pada saat itu kau menghindarkah, perempuan?
Sedang siang saat itu, lagi-lagi sangat sulit kaulontarkan satu pun kata padanya.
Perempuan,
Salahkah kau bersikap demikian?
Salah pada apa?
Pada kesendiriannya yang ternyata masih
mengharap-harap hatimu hingga kini?
Dua hari setelah
hari keenam dalam nopember,
Makassar, 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan lupa tinggalkan jejak ^_^