Rabu, 29 Oktober 2014

Monolog Rindu 7: Kemarau



Kemarau adalah penerimaan yang lapang. Kemarau adalah penerimaan pada jejak-jejak angin yang kering lagi berat.

Apalah yang menyadarkan kita, bahwa tanah-tanah telah jemu pada ocehan dan keluhan kaki?

Apalah yang menggelitik kita, bahwa debu-debu yang selalu tertolak pada kedua lubang hidung, sedang kita selalu saja menghirupnya di jalan-jalan kota?

Ketika musim basah datang tanpa henti-henti, beberapa ocehan juga selalu mengikut pada sepatu-sepatu kita yang basah, ujung-ujung rok kita yang kotor karena ulah cipratan, tubuh-tubuh kita yang gigil dan seketika menjadi pemalas ketika dingin membungkus, dan kepala-kepala kita yang terasa ringan ketika bulir-bulir air langit menyentuh sela-sela rambut.

Kemarau. Matahari mungkin agak garang pada masa-masa ini. Iya, mungkinkah? Ataukah mungkin saja matahari sedang menyingkirkan awan abu-abu dimusimnya ini?

Kemarau. Di musim ini, tak banyak yang menyadari, umpatan-umpatan gerah berada di tengah-tengah siang.

Tak taukah, tanpa sadar bahwa sebenarnya mereka merindukan musim yang basah?

Kemarau. Sama halnya pada penghidupan. Dari beberapa kisah, ternyata, musim kematian telah menggandeng kemarau. Tahun ini. Iya, tahun ini.

Kemarau. Telah banyak mengantarkan insan-insan pada keribaan-Nya.

Kemarau. Apakah ketika kita merindui hujan, sedang pelajaran yang diberikan kemarau akan membuat kita lupa?

Kemarau. Apakah ketika teriknya siang, sedang pelajaran yang diberikan hujan akan membuat kita lupa?

Kemarau. Seperti pada musim kematian yang menemani, seperti hujan yang enggan nampak, pernahkah kita menyadari, bahwa mengembalikan rindu pada keduanya hanya ditujukan pada penciptanya?

  

Sore dan kemarau dalam Oktober, 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan lupa tinggalkan jejak ^_^