Selasa, 14 Oktober 2014

Monolog Rindu 6: Pulang



Ini adalah Oktober. Saat-saat kemarau datang menggandeng angin. Kemarau telah melatih angin menjadi lebih tegas. Pun, pada siang-siang dan malam-malam, kemarau telah menjadikan rindu menelikung pada: Pulang.

Pulang?

Berbicara pulang, bukankah selasar rumah selalu lapang dan sejuk untuk kita tempati duduk bersama?

Seperti dibeberapa waktu, kita selalu terjebak pada sangka-sangka yang resah. Pada beberapa waktu, kita selalu saja dengan lemah menerima sesuatu yang semestinya tidak kita terima. Kita selalu menganggap, bahwa hidup tak mesti selalu membahagiakan diri kita sendiri.

Ya. Dan lagi waktu selalu kejam menggiring kita pada penyesalan-penyesalan.

Dari semua yang pernah kita lalui, adakah waktu yang lebih berat seperti kemarin? Seperti yang kita rasakan, berat itu terlalu menghimpit dada dan kepala kita. Terlalu menyesakkan kita yang introvert. Terlalu menunjukkan bahwa kita terkadang abai pada hati kita masing-masing.

Ingatkah September kemarin yang penuh ujian?
Ingatkah Agustus kemarin yang terlalu lelah?
Ingatkah Juli kemarin yang menyendiri?

Baiklah. Pada beberapa suara teduh yang menemani kita, memilih pulang adalah jawabannya. Pulang pada diri kita sendiri. Menemukan kembali diri kita sendiri, ketika waktu (kemarin) telah menjadikan kita memilih untuk membaginya.

Pulang adalah sebaik-baik perjalanan. Seperti yang pernah kita katakan.

Dan setelah kita pulang, pernahkah kita sedikit berusaha memahami, bahwa pulang sesungguhnya adalah saat kita tak mampu lagi bergerak dan berbicara?


Bahwa pulang sesungguhnya adalah saat kita betul-betul sendiri, bertanggung jawab atas apa yang pernah kita lakukan bersama waktu.

(Bersama pagi)

Makassar, 14 Oktober 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan lupa tinggalkan jejak ^_^